Selasa, 01 Agustus 2017

MAKALAH ANALISIS GAYA BAHASA CERPEN

ANALISIS GAYA BAHASA
CERPEN PERMINTAAN TERAKHIR KARYA USMAR ISMAIL




OLEH:

ZULMAIMI EKA PUTRI
12080250
H









DOSEN PEMBINA:
RAHAYU FITRI, M.Pd.













PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2015







BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah

        Sastra merupakan bagian yang erat kaitannya dengan sastrawan. Hadirnya karya sastra ditengah-tengah masyarakat sebagai bentuk kreativitas seorang penulis atau pengarang perlu mendapat perhatian dan dukungan. Perhatian dan dukungan tersebut dimaksudkan sebagai  pemberi semangat yang tidak hanya bagi penulis senior tetapi diharapkan juga dapat memberikan motivasi kepada penulis pemula ataupun yang ingin dan mencoba menulis.
         Sejarah sastra Indonesia mecatat beberapa penulis terdahulu berasal dari tanah Minang, seperti Usmar Ismail. Usmar Ismail adalah putra Minang asal Bukittinggi yang lahir pada 20 Maret 1921 dan meninggal pada tahun 1971 di Jakarta. Usmar menempuh pendidikan di AMS/A II Yogaya dan HBS Jakarta. Ia telah mulai menulis sajak sejak permulaan masa Jepang. Pada masa Jepang itu juga ia menceburkan diri ke gelanggang sandiwara dan  mendirikan sandiwara penggemar bernama MAYA dengan dibantu oleh: Rosihan Anwar, Dr. Abu Hanifah, pemain-pemain, penyanyi-penyanyi, penari-penari, para pelukis, dan tiga orang komponis muda (Cornel Simanjuntak, Hario Singgih, Cok Sinsu). Ia bersama kawan-kawannya itu melakukan percobaa-percobaan untuk memperbaiki sandiwara mengenai isi cerita, permainan, dekor, teknis, dll. Ia pernah menjadi anggota pusat kebudayaan. Selain itu, ia juga bergiat di dalam dunia film. Dalam dunia kepenyairan ia kurang diistimewakan tetapi keistemewaannya sebagai pengarang sandiwara. Ia adalah pengarang sandiwara yang kenamaan di Indonesia sesudah perang. Karangan-karangannya selalu berjiwakan ketuhanan dan kebangsaan. Karya-karya yang dihasilkannya yaitu: Puntung Berasap (kumpulan sajak, tahun 1943-1947, BP, 1950), Permintaan Terakhir (cerpen), Asokamala Dewi (cerpen), Sedih dan Gembira (1948), kumpulan 3 drama (Citra, Api, dan Liburan Seniman), dan beberapa drama yang belum di bukukan yakni: Mutiara dari Nusalaut, Mekar Melati, Tempat yang kosong, dan Ayahku Pulang (saduran dari Chiichi Kaeru).
(Soetarno, 1983: 138-139)
            Karya sastra hadir dengan memberikan berbagai gambaran kehidupan yang dilalui atau realita yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Karya tersebut ditulis dengan bermacam-macam gaya bahasa, seperti gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan. Selain itu, diksi yang menyusun sebuah karya sastra juga diharapkan sarat akan makna tersirat. Dengan berbagai gaya bahasa dan diksi yang terdapat pada sebuah karya sastra maka penulisan ini lebih difokuskan pada penggunaan gaya bahasa sebuah cerpen.
      Cerpen yang menjadi bahan analisis adalah cerpen karya Usmar Ismail yang berjudul “Permintaan Terakhir”. Cerpen tersebut berkisah tentang seorang murid dengan gurunya. Dari kisah yang disampaikan dapat diketahui bahwa naluri seorang guru tidaklah dapat disangsikan dan pelajaran yang berharga yang perlu diteladani adalah berusaha menjadi yang terbaik dari dan bersikap jujurlah. Kisah tersebut disusun dengan kalimat-kalimat yang indah dan menyentuh. Gaya bahasa yang digunakan pun bervariasi.

1.2    Rumusan Masalah
          Rumusan masalah pada penulisan ini adalah bagaimanakah penggunaan gaya bahasa pada cerpen Permintaan Terakhir karya Usmar Ismail?

1.3    Tujuan Penulisan
          Penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa pada cerpen Permintaan Terakhir karya Usmar Ismail.

1.4    Manfaat Penulisan
Penulisan diharapkan bermanfaat bagi.
a.       Penulis sebagai bentuk pengungkapan kemampuan dalam menganalisis gaya bahasa pada cerpen.
b.      Pembaca, semoga menambah pengentahuan tentang analisis gaya bahasa terutama gaya bahasa cerpen.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Kajian Teori
        Teori-teori yang digunakan pada penulisan ini adalah hakikat cerpen dan hakikat gaya bahasa.
2.1.1        Hakikat Cerpen
a.      Pengertian cerpen
               Kosasih (2012: 34) mengemukakan bahwa, “Cerita pendek (cerpen) merupakan cerita yang menurut fisiknya berbentuk pendek. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif. Namun, pada umumnya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sepuluh menit atau setengah jam”. Dengan demikian dapat diketahui bahwa cerpen itu dinamakan cerita pendek dikarenakan bentuknya fisiknya yang memang pendek dan waktu yang diperlukan untuk membacanya juga singkat. Ramadansyah (2012: 131) mengemukakan bahwa, “Cerpen merupakan cerita rekaan yang mengungkapakn unsur-unsur karya sastra secara padat, ringkas, dan langsung menghadirkan konflik pada tokohnya”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cerita pendek atau cerpen adalah cerita yang disajikan dalam bentuk yang pendek, tetapi tetap mengungkapkan unsur-unsur karya sastra secara singkat dan padat. 

b.      Unsur-unsur cerpen
Kosasih (2012: 34-41) mengemukakan lima unsur-unsur cerpen, yaitu.
a)      Alur
Alur (plot) merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Menurut Muhardi dan Hasanuddin WS (1992: 28), alur adalah hubungan antara satu peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa atau sekelompok peristiwa yang lain. Lebih lanjut Muhardi dan Hasanuddin WS mengemukakan bahwa alur yang baik adalah alur yang memiliki kausalitas di antara sesama peristiwa yang ada dalam sebuah fiksi. Kosasih (2009: 35) mengemukakan bahwa alur terbagi ke dalam beberapa bagian yaitu: (1) pengenalan situasi cerita (ekposition), (2) pengungkapan peristiwa (complication), (3) menuju pada adanya konflik (rising action), (4) puncak konflik (turning point), dan (5) penyelesaian (ending). Dan berdasarkan periode pengembangannya, alur cerpen dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) alur normal, (b) alur sorot balik, dan (c) alur maju-mundur.
b)      Penokohan
Penokohan merupakan cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Teknik pengembangan karakteristik tokoh ada lima yaitu (1) penggambaran langsung atau teknik analitik, (2) penggambaran fisik dan perilaku tokoh, (3) penggambaran lingkungan kehidupan tokoh, (4) penggambaran tata kebahasaan tokoh, dan pengungkapan jalan pikiran tokoh. Menurut Muhardi dan Hasanuddin WS (1992: 24) dalam hal penokohan termasuk masalah penamaan, pemeranan, keadaan psikis, dan karakter. Bagian-bagian penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun  permasalahan fiksi.
c)      Latar
Latar atau setting merupakan tempat dan waktu berlangsungnya kejadian dalam cerita. Latar berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas keyakinan  pembaca terhadap jalan cerita ataupun pada karakter tokoh. Jenis-jenis latar yaitu latar tempat dan latar waktu. Muhardi dan Hasanuddin WS (1992: 30) mengemukakan bahwa latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang memerjelas suasana, tempat, dan waktu peristiwa itu terjadi.
d)     Tema
Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema cerita berkaitan dengan segala persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya.  Muhardi dan Hasanuddin WS (1992: 38) mengemukakan bahwa tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Selain itu, tema juga merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar.
e)      Amanat
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Karena itu, amanat selalu berhubung dengan tema cerita itu. Muhardi dan Hasanuddin WS (1992: 38) mengemukakan bahwa amanat merupakan opini, kecenderungan, dan visi pengarang tehadap tema yang dikemukakannya.

3          Hakikat Gaya Bahasa
1)      Pengertian gaya bahasa
Date [et all] (dalam Tarigan, 2009: 4) menjelaskan bahwa, gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Dan dengan penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Menurut Tarigan (2009: 4), “Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk menyakinkan atau memengaruhi penyimak atau pembaca”.
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 5) menyebutkan bahwa, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memerlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Lebih lanjut Keraf mengemukakan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu: kejujuran, sopan-santun, dan menarik. Menurut Muhardi dan Hasnuddin WS (1992: 35) pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang memergunakan bahasa sebagai medium fiksi. Penggunaan bahasa tulis dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pengarang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, gaya bahasa merupakan bahasa indah yang diungkapkan seseorang (penyair, pengarang, ataupun pembicara) untuk menyampaikan gagasan dan perasaannya. Tujuan penggunaan gaya bahasa adalah untuk menyakinkan atau memengaruhi seseorang terhadap suatu hal atau topik yang dibahas. Kepiawaian seorang pengarang atau pembicara dalam memergunakan gaya bahasa dapat menjadi ciri pembeda antarpengarang atau pembicara.

2)      Jenis-jenis gaya bahasa dalam karya sastra
Tarigan (2009) mengklasifikasikan jenis-jenis gaya bahasa dalam karya sastra ke dalam empat kelompok, yaitu: (a) gaya bahasa perbandingan, terdiri dari: perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pelonasme dan tautologi, perifrasis, antisipasi atau prolepsis, dan koreksi atau epanortosis, (b) gaya bahasa pertentangan, terdiri dari: hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralepsis, zeugma dan silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, anti klimaks, apostrof, anastrof atau inversi, apofasis atau preterisio, histeron proteron, hipalase, sinisme, dan sarkasme, (c) gaya bahasa pertautan, terdiri dari: metonimia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, dan polisindeton, dan (d) gaya bahasa perulangan, terdiri dari: aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodilopsis,epanalepsis, dan anadilopsis.
a)      Gaya bahasa perbandingan
(1)   Perumpamaan/simile
Perumpamaan atau simile adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Ramadansyah (2012: 161) mengemukakan bahwa simile (perumpamaan sejajar) dengan membandingkan dua hal. Kata-kata yang umum digunakan sebagai ciri penanda perumpamaan/simile adalah ibarat, seperti, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, dan serupa. Contoh: ibarat mencengcang air, bak cacing kepanasan, dan seperti air dengan minyak.
(2)   Metafora
Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Menurut Poerwadarminta, (dalam Tarigan, 2009: 15), metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Ramadansyah (2012: 161) menyatakan bahwa metafora merupakan perbandingan suatu benda dengan benda lain secara langsung kerena memiliki sifat yang sama. Contoh: Aku terus memburu untung, Ali mata keranjang, dan ketawa merupakan vitamin menyehatkan tubuh.
(3)   Personifikasi
Personifikasi atau penginsanan adalah jenis gaya bahasa yang meletakkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Menurut  Ramadansyah (2012: 161) personifikasi menggambarkan sifat benda yang tidak bernyawa memiliki sifat seolah-olah sama dengan manusia. Contoh: Penelitian menuntut kecermatan, hujan memandikan tanaman, dan dinding mendengar cerita kita.
(4)   Depersonifikasi
Depersonifikasi atau pembendaan adalah gaya bahasa yang membendakan manusia atau insan. Kata-kata yang umum digunakan sebagai ciri penanda depersonifikasi yaitu kalau, jika, jikalau, bila (mana), sekiranya, misalkan, umpama, andai (kata), dan seandainya. Contoh: kalau dikau menjadi samudra, maka daku menjadi bahtera.
(5)   Alegori
Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang. Selain itu, alegori juga merupkan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat, atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan. Menurut Ramadansyah (2012: 162), alegori merupakan perbandingan yang bertaut hingga membentuk kesatuan yang utuh. Contoh: Kancil dan buaya, cerita Adam dan Hawa, dan cerita Yusuf.
(6)   Antitesis
Menurut Ducrot dan Todorov (dalam Tarigan, 2009: 26) antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Contoh: Dia bergembira ria atas kegagalanku dalam ujian itu.
(7)   Pleonasme dan Tautologi
Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2009: 28) mengemukakan bahwa,  pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan) yang sebenarnya tidak perlu (seperti menurut sepanjang adat, saling tolong-menolong). Tarigan (2009: 29) mengemukakan bahwa, pleonasme dan tautologi ialah acuan yang menggunakan suatu gagasan atau pikiran. Contoh Saya telah mencatat kejadian itu dengan tangan saya sendiri.
(8)   Perifrasis
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 31) mengemukakan bhawa, perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme. Pada gaya bahasa perifrasis, kata-kata yang berlebihan itu pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja. Contoh: Putri kami yang sulung telah melayarkan bahtera ke pulau Idamannya bersama tunangannya (nikah atau kawin).
(9)   Antisipasi atau Prolepsis
Shadily (dalam Tarigan, 2009: 33) mengemukakan bahwa antisipasi berarti ‘mendahului’ atau ‘penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi’. Contoh: Kami sangat gembira, minggu depan kami memperoleh hadiah dari bapak Bupati.
(10)           Koreksi atau Epanortosis
Koreksi atau epanortosis merupakan gaya bahasa yang berwujud mula-mula ingin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memeriksa dan memperbaiki mana-mana yang salah. Contoh: Kepala sekolah baru pulang dari Sulawesi Utara, maaf bukan, Sumatera Utara.
b)      Gaya bahasa pertentangan
(1)   Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya dengan maksud memberikan penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkat kesan dan pengaruhnya. Ramadansyah (2012: 162) juga mengemukakan bahwa hiperbola merupakan gaya bahasa yang berisi pernyataan berlebih-lebihan/membesar-besarkan. Contoh: Tabungannya berjuta-juta, emasnya berkilo-kilo, sawahnya berhektar-hektar (untuk pengganti dia orang kaya).
(2)   Litotes
Menurut Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 58) litotes adalah gaya bahasa yang di dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya. Senada dengan Moeliono, Ramadansyah (2012: 162) juga mengemukakan bahwa, litotes merupakan gaya bahasa yang menguraikan/melunakkan arti, yang berlawanan dari kenyataan yang sebenarnya untuk merendahkan diri. Contoh: Indonesia bukanlah negara kecil dan terbelakang yang dapat diabaikan begitu saja dalam percaturan politik ASEAN.
(3)   Ironi
Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 61) mengemukakan bahwa ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Menurut Ramadansyah (2012: 162) ironi menggunakan kata yang berarti sebaliknya dengan maksud menyindir. Contoh: Aduh, bersihnya kamar ini, puntung rokok dan sobekan kertas bertebaran di lantai.
(4)   Oksimoron
Ducrot dan Tororov (dalam Tarigan, 2009: 63) mengemukan bahwa, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung penegasan atau pendirian suatu hubungan sintaksisbaik koordinasi maupun determinasiantara dua antonim. Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 63) oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama. Ramadansyah (2012: 263) mengemukakan bahwa oksimoron merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata majemuk setara atau bertingkat. Contoh: Olahraga mendaki gunung memang menarik hati walaupun sangat berbahaya.
(5)   Paronomasia
Menurut Ducrot dan Tororov (dalam Tarigan, 2009: 63) paronomasia adalah gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tetapi bermakna lain atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi artinya berbeda. Contoh: Mari kita kubik beramai-ramai kacang tanah yang setengah kubik banyaknya itu.
(6)   Paralipsis
Ducrot dan Tororov (dalam Tarigan, 2009: 63) mengemukan bahwa, paralipsis adalah gaya bahasa yang merupakan suatu formula yang digunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri. Contoh: Tidak ada orang yang menyenangi kamu (maaf) yang saya maksud membenci kamu di desa ini.
(7)   Zeugma dan Silepsis
Zeugma dan silepsis adalah gaya bahasa yang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain yang pada hakikatnya hanya sebuah saja yang mempunyai hubungan dengan kata yang pertama. Silepsis merupakan penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis. Contoh: Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya. Sedangkan zeugma adalah silepsis dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstuksi sintaksis yang kedua sehingga menjadi kalimat yang rancu. Contoh: Kami sudah mendengar berita itu dari radio dan surat kabar.
(8)   Satire
Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 70) satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Contoh: puisi ‘Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya’ karya Taufik Ismail.
(9)   Inuendo
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 74) mengemukakan bahwa inuendo adalah gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasa ini menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sekitar. Contoh: Abangku sedikit gemuk karena terlalu kebanyakan makan daging berlemak.
(10)           Antifrasis
Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Contoh: Mari kita sambut kedatangan sang Raja (maksudnya si jongos).
(11)           Paradoks
Paradoks adalah suatu pernyataan yang bagaimana diartikan selalu berakhir dengan pertentangan. Keraf (dalam Tarigan, 2009: 77) mengemukakan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Contoh: Aku kesepian di tengah keramaian.
(12)           Klimaks
Shadily (dalam Tarigan, 2009: 79) mengemukakan bahwa klimaks adalah sejenis gaya bahasa yang berupa susunan uangkapan yang semakin lama semakin mengandung penekanan. Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 79) klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya gagasan-gagasan sebelumnya. Contoh: Setiap guru yang berdiri di depan kelas harus mengetahui, memahami, serta menguasai bahan yang diajarkannya.
(13)           Anti klimaks
Anti klimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Contoh: Penataran P4 diberikan kepada para dosen Perguruan Tinggi, para guru SMA, SMP, SD, dan TK.
(14)           Apostrof
Apostrof merupakan gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir.  Cara ini lazimnya dipakai oleh orator klasik atau para dukun tradisional. Contoh: Wahai para dewa-dewa yang berada di nirwana, segeralah datang dan lepaskan kami dari cengkraman yang durjana.
(15)           Anastrof atau Invers
Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 85), anastrof atau inversi adalah gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Ducrot and Todorov (dalam Tarigan, 2009: 85) mengemukakan bahwa, inversi adalah gaya bahasa permutasian atau perubahan urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis. Contoh: Merantaulah ia ke negeri seberang tanpa meninggalkan apa-apa.
(16)           Apofasis atau Preterio
Apofasis atau preterio merupakan gaya bahasa yang digunakan oleh penulis, pengarang, atau pembicara untuk menegaskan sesuatu tetapi tampaknya menyangkalnya. Contoh: Saya tidak ingin menyingkapkan dalam rapat ini bahwa putrimu itu telah berbadan dua.
(17)            Histeron Proteron
Histeron proteron merupakan gaya bahasa yang membalikkan sesuatu yang logis atau membalikkan sesuatu yang wajar. Menurut Keraf (dalan Tarigan, 2009: 88), histeron proteron adalah gaya bahasa yang kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar. Contoh: Pidato yang berapi-api itu keluar dari mulut orang yang berbicara terbata-bata itu.
(18)           Hipalase
Hipalase merupakan gaya bahasa yang menggunakan sesuatu kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain. Menurut Keraf (dalan Tarigan, 2009: 89), hipalase adalah gaya bahasa kebalikan dari suatu hubungan alamiah antara dua komponen. Contoh: Ia duduk pada sebuah bangku yang gelisah (yang gelisah: ia, bukan bangku).
(19)           Sinisme
Sinisme adalah gaya bahasa berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Menurut Ramadansyah (2012: 162), sinisme adalah sindiran yang lebih kasar dari ironi. Contoh: Memang tidak dapat diragukan lagi bahwa Andalah yang paling kaya di dunia yang mampu membeli kelima benua di bumi ini.
(20)           Sarkasme
Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2009: 92) mengemukakan bahwa, sarkasme adalah gaya bahasa yang mengandung ‘olok-olok atau sindiran pedas dan menyakitkan hati’. Menurut Ramadansyah (2012: 162), sarkasme adalah sindiran yang paling kasar, langsung menusuk perasaan, dan digunakan oleh orang yang sedang marah. Contoh: Otakmu otak udang.
c)      Gaya bahasa pertautan
(1)   Metonimia
Menurut Dale (dalam Tarigan, 2009: 121), metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan nama suatu barang bagi sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 121) mengemukakan bahwa, metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal lain sebagai penggantinya. Contoh: Terkadang pena justru lebih tajam daripada pedang.
(2)   Sinekdoke
Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 123) mengemukakan bahwa, sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan atau sebaliknya. Menurut Ramadansyah sinekdoke dibagi atas dua macam, yaitu totem proparte dan pars pro tato. Totem proparte adalah gaya bahasa yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian, contoh: Padang sibuk menyiapkan lomba lagu minang. Sedangkan, pars pro tato adalah gaya bahasa yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan, contoh: Sudah dua hari Farid tidak tamppak batang hidungnya.
(3)   Alusi
Alusi atau kilatan adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan anggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan pada pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Contoh: Saya mengeri membayangkan kembali peristiwa Westerling.
(4)   Eufemisme
Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 126) mengemukakan bahwa, eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakn kasar (dianggap merugikan) atau yang dianggap tidak menyenangkan. Contoh: Ayahnya meninggal tadi pagi (meninggal sebagai pengganti ‘mati’)
(5)   Eponim
Eponim adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Contoh: Tahun ini terasa benar dawi sri merestui para petani desa ini.
(6)   Epitet
Epitet adalah gaya bahasa yang mengandung acuan untuk menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau suatu hal. Contoh: Lonceng pagi bersahut-sahutan di desa terpencil ini menyongsong mentari bersinar menerangi alam (lonceng pagi = ayam jantan).
(7)   Antonomasia
Antonomasi merupakan gaya bahasa yang menggunakan nama gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri. Contoh: Gubernur Sumatera Utara akan meresmikan pembukaan Seminar Adat Karo di Kabanjahe bulan depan.
(8)   Erotesis
Erotesis adalah gaya bahasa berupa pernyataan yang digunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menuntut suatu jawaban. Contoh: Soal ujian tidak sesuai dengan bahan pelajaran. Herankah kita jika nilai pelajaran Bahasa Indonesia pada Ebtanas tahun 1985 ini sangat merosot?
(9)   Paralelisme
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 131) mengungkapkan bahwa, paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Contoh: Baik kaum pria maupun kaum wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama secara hukum.
(10)                Elipsis
Ducrot and Todorov (dalam Tarigan, 2009: 133) elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya dilaksanakan penanggalan atau penghilangan kata atau kata-kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tata bahasa. Contoh: Mereka ke Jakarta minggu yang lalu (penghilangan predikat: pergi, berangkat)
(11)                Gradasi
Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan paling sedikit tiga kata atau istilah yang secara sintaksis bersamaan yang mempunyai suatu atau beberapa ciri-ciri semantik secara umum dan yang di antaranya paling sedikit suatu ciri diulang-ulang dengan perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif. Contoh: Kami berjuang dengan tekad; tekad harus maju; maju dalam kehidupan; kehidupan yang layak dan baik.
(12)                Asindeton
Asindenton adalah gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan saja oleh tanda koma. Contoh: Tujuan instruksional, materi pengajaran, kualitas guru, metode yang serasi, media pengajaran, pengelolaan kelas, evaluasi yang cocok, turut menetukan keberhasilan suatu proses belajar-mengajar.
(13)                Polisindeton
Polisindenton adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindeton. Dalam polisindeton, beberapa kata, frasa, atau kluasa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Contoh: Istri saya menanam nangka dan jambu dan cengkeh dan pepaya di pekarangan rumah kami.
d)     Gaya bahasa perulangan
(1)   Aliterasi
Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan purwakanti atau pemakian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 175), aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Contoh: Dara damba daku, kalau ‘kanda kala kacau.
(2)   Asonansi
Asonansi adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vokal yang sama. Biasanya dipakai dalam karya puisi ataupun dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau menyelamatkan keindahan.
Contoh: kura-kura dalam perahu
sudah gaharu cendana pula
Pura-pura tidak tahu
sudah tahu bertanya pula
(3)   Antanaklasis
Ducrot and Todorov (dalam Tarigan, 2009: 179), antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Contoh: Karena buah penanya itu dia pun manjadi buah bibir masyarakat.
(4)   Kiasmus
Ducrot and Todorov (dalam Tarigan, 2009: 180) mengungkapkan bahwa, kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus pula merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. Contoh: Sudah lazim dalam hidup ini bahwa orang pintar mengaku bodoh, tetapi orang bodoh merasa dirinya pintar.
(5)   Epizeukis
Epizuekis adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung, yaitu kata yang ditekankan atau yang dipentingankan diulang beberapa kali berturut-turut. Contoh: Ingat, kamu harus bertobat, bertobat, sekali lagi bertobat agar dosa-dosamu diampumi oleh Tuhan Yang Mahakuasa dan  Maha Pengasih.
(6)   Tautotes
Karef (dalam Tarigan, 2009: 183) mengemukakan bahwa, tautotes adalah gaya bahasa perulangan atau repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Contoh: Aku menuduh kamu, kamu menuduh aku, aku dan kamu saling menuduh, kamu dan aku berseteru.
(7)   Anafora
Anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berulang perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat.
Contoh:
Lupakah engkau bahwa merekalah yang membesarkan dan mengasuhmu.
Lupakah engkau bahwa keluarga itulah yang menyekolahkanmu sampai ke perguruan tinggi?
Lupakan engkau bahwa engkau mereka pula yang mengawinkanmu dengan istrimu?
Lupakah engkau akan segala budi baik mereka itu kepadamu?
(8)   Epistrofa
Epistrofa adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan.
Contoh:
Bahasa resmi adalah bahasa Indonesia
Bahasa adalah bahasa Indonesia
Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia
Bahasa kebanggaan adalah bahasa Indonesia
(9)   Simploke
Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 187), simploke adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Contoh:
Ibu bilang saya pemalas. Saya bilang biar saja.
Ibu bilang saya lamban. Saya bilang biar saja.
Ibu bilang saya lengah. Saya bilang biar saja.
Ibu bilang saya manja. Saya bilang biar saja.
(10)     Mesodilopsis
Mesodilopsis adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh:
Anak merindukan orang tua
Orang tua merindukan anak
Aku merindukan pacarku
Dia merindukan ketenteraman batin
Kamu merindukan keberhasilan studimu
Kumbang merindukan kembang
Pungguk merindukan bulan
Ombak merindukan pantai
Pendeknya semua merindukan sesuatu di dalam hidup ini
(11)     Epanalepsis
Epanalepsis adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama dari baris, klausa, atau kalimat menjadi terakhir. Contoh: Bawalah aku ke mana engakau pergi, aku menyerahkan diriku padamu, bawalah.


(12)     Anadiplosis
Anadiplosis adalah gaya bahasa repetisi di mana kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama klausa atau kalimat terakhir. Contoh:  dalam mata ada kaca
dalam kaca ada adinda
dalam adinda ada asa
dalam asa ada cinta
a.        Analisis Gaya Bahasa Cerpen Permintaan Terakhir Karya Usmar Ismail
Gaya bahasa merupakan bentuk indah dari bahasa yang digunakan oleh pengarang atau penulis dalam menyampaikan gagasan, ide, dan perasaannya. Pada penulisan ini akan dikemukakan temuan gaya bahasa yang terdapat pada cerpen ‘Permintaan Terakhir’ karya Usmar Ismail, yaitu.
a.       Gaya bahasa perbandingan
1)      Metafora
Metafora adalah gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Temuan gaya bahasa metafora pada cerpen, adalah.
·         Aku terpekur di tanah merah yang masih basah itu, basah karena hari baru hujan, ditambah oleh air mata, yang aku cucurkan di atas pekuburan yang terletak di tepi hutan, jauh dari kota itu.
Penanda kalimat tersebut metafora adalah kata tanah merah, yang berarti pemakaman. Tanah merah dipilih agar kesan karangan lebih menarik.

·         Semasa ia seorang ahli gambar yang termasyhur, sewaktu ia jadi buah bibir orang, aku turuti ia, sedangkan aku orang yang tak bernama, tak bergelar, seorang yang di jalan hanya dapat teguran, “Ah, kau itu, Anu.”
Penanda kalimat tersebut metafora adalah ahli gambar dan buah bibir. Ahli gambar berarti orang yang memiliki keahlian yang lebih dalam bidang melukis, dan buah bibir berarti orang yang menjadi pembicara banyak orang.

·         “...jangan kau berputus asa, sedetik pun jangan, sebab di waktu sekejap mata itulah kadang-kadang menyerang suatu kodrat yang meruntuhkan apa yang telah kita tegakkan dengan bersusah payah.”
Penanda kalimat tersebut metafora adalah sekejap mata, yang berarti sebentar.

2)      Antisipasi
Antisipasi berarti ‘mendahului’ atau ‘penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi’. Temuan gaya bahasa antisipasi pada cerpen, adalah.
·         Perkataannya yang terakhir masih mendengung di telingaku, orang yang baru kukenal ini, tetapi sungguhpun demikian seorang yang telah jadi perintis jalan bagiku.
Kalimat tersebut dikatakan antisipasi karena dimulai dengan mengemukakan pendahuluan, yaitu: hal yang disampaikan oleh orang yang memberikan pernyataan masih teringat dan diakhiri dengan menyatakan bahwa orang memberikan pernyataan tersebut adalah orang yang telah menjadi perintis bagi jalannya.

·         Semasa ia seorang ahli gambar yang termasyhur, sewaktu ia jadi buah bibir orang, aku turuti ia, sedangkan aku orang yang tak bernama, tak bergelar, seorang yang di jalan hanya dapat teguran, “Ah, kau itu, Anu.”
Kalimat tersebut dikatakan antisipasi karena dimulai dengan mengemukakan pendahuluan, yaitu: mengemukakan bahwa pada suatu masa ada seseorang yang menjadi pelukis terkenal yang dituruti dan diakhiri dengan menyatakan bahwa adalah ia orang yang tidak memiliki nama dan tidak bergelar.

·         Hanya ketika aku terdiam, berdiri melihat muka yang berseri itu, terasa olehku bahwa suatu alun meresap ke dadaku, menahan nafasku, suatu alun pengertian di antara dia dan aku.
Kalimat tersebut dikatakan antisipasi karena dimulai dengan mengemukakan pendahuluan, yaitu: pada awalnya ia terdiam, berdiri, dan ada hal yang dirasakan dan diakhiri oleh pernyataan bahwa hal tersebut hanyalah dapat diketahui oleh ia dan orang yang dibicarakannya.

·         Dan guruku yang tak bernyawa itu, tak mendengar, tak melihat, hanya menerima dengan kesabaran hati yang kukuh, biarpun tak selalu mengaminkan sesuatu dengan begitu saja.
Kalimat tersebut dikatakan antisipasi karena didahului oleh beberapa klausa yang kemudian diakhiri dengan pernyataan yang sesungguhnya.

·         Ketika aku kembali pulang, tiga tahun kemudian, tak ada kedengaran namanya lagi.
Kalimat tersebut dikatakan antisipasi karena mempergunakan lebih dahulu kata-kata sebelum peristiwa yang sebenarnya terjadi.

3)      Perumpamaan (simile)
Perumpamaan adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang pada hakikatnya berbeda dan sengaja dianggap sama. Temuan gaya bahasa perumpamaan (simile) pada cerpen, yaitu.

·         Tak dapat tiada aku akan patah, jatuh, tak akan bangkit lagi, sebab terasa olehku, aku bergantung kepada guruku seperti seorang bergantung di akar yang tak kelihatan pangkalnya, sedangkan di bawahnya lembah yang dalam.
Kalimat tersebut dikatakan perumpamaan (simile) karena aku membandingkan dirinya seperti seorang yang bergantung pada akar yang tidak kelihatan pangkalnya dan dibawahnya ada lembah yang dalam. Hal tersebut dapat diartikan bahwa tokoh aku merasa melakukan sesuatu yang memiliki tantangan yang cukup tinggi.

·         Perasaan untuk menciptakan sesuatu yang baru, telah hilang, ibarat sebuah lilin yang makin lama makin kurang jua terang nyalanya, pada akhirnya padam, tak dapat hidup lagi.
Kalimat tersebut dikatakan perumpamaan (simile) karena seseorang menyatakan bahwa dirinya ibarat sebuah lilin yang makin lama makin kurang jua terang nyalanya. Ia merasa bahwa tidak memiliki harapan sebagaimana harapan yang dulu dimilikinya.

·         Nasib ahli seni sekaliannya sama, seperti hari cerah di waktu pagi, tetapi kian lama kian kelam jua, hingga akhirnya datang awan hitam menutup bentangan langitnya,” ujarnya, setelah hening sejurus.
Kalimat tersebut dikatakan perumpamaan (simile) karena seseorang menyatakan perbandingan antara nasib ahli seni itu seperti hari cerah di waktu pagi, artinya seiring berjalannya waktu kecerahan di pagi hari itu bisa berubah.




b.      Gaya bahasa pertentangan
1)      Inversi
Inversi merupakan gaya bahasa yang pengungkapan prediket kalimat mendahului subjeknya karena lebih diutamakan. Temuan gaya bahasa inversi pada cerpen yaitu.
·         Teringat aku akan suatu peristiwa, suatu kejadian yang hidup dalam sanubariku, di suatu pertunjukan gambar-gambar, ciptaannya.
Inversi pada kalimat tersebut ditandai oleh kata ‘teringat’ yang mendahului kata subjek ‘aku’. Pada struktur kalimat normal, kalimat tersebut menjadi ‘aku teringat akan suatu peristiwa, suatu kejadian yang hidup dalam sanubariku, di suatu pertunjukan gambar-gambar, ciptaannya’.

·         Ketika aku angkat kepalaku, heran aku melihat wajah yang tenang itu, sedikit pun tak terlihat keheranan di mukanya yang pucat itu.
Inversi pada kalimat tersebut ditandai oleh kata ‘heran’ yang mendahuluan kata subjek ‘aku’. Pada struktur kalimat normal, kalimat tersebut menjadi ‘Ketika aku angkat kepalaku, aku heran melihat wajah yang tenang itu, sedikit pun tak terlihat keheranan di mukanya yang pucat itu’.

·         Terharu pikiranku bukan buatan, hanya Allah saja yang mengetahui, bagaimanakah gerangan.
Inversi pada kalimat tersebut ditandai oleh kata‘terharu’ yang merupakan prediket mendahului subjek ‘pikiranku’. Pada struktur kalimat normal, kalimat tersebut menjadi ‘pikiranku terharu bukan buatan, hanya Allah saja yang mengetahui, bagaimanakah gerangan’.

·         Cobalah lihatkan kepadaku gambarmu itu.”
Inversi pada kalimat tersebut ditandai oleh ‘cobalah lihatkan’ yang mendahului kata ganti orang. Pada struktur kalimat normal, kalimat tersebut dapat tulis menjadi ‘kepadaku cobalah perlihatkan gambarmu itu’. Akan tetapi, kalimat tersebut akan rancu dan tidak menarik.

·         Mendengar suaranya yang lemah itu, patah pula ketetapan hatiku, aku pergi ke dinding...
Inversi pada kalimat tersebut ditandai oleh ‘Mendengar’ yang mendahuluikan subjeknya seseorang yang luka hati berupa ungkapkan.

2)      Hiperbola
Hiperbola merupakan perbandingan yang dipakai untuk melukiskan peristiwa secara berlebih-lebihan sehinggan kenyatan tersebut menjadi tidak masuk akal. Temuan gaya bahasa hiperbola pada cerpen yaitu.
·         Aku tertegun melihat keindahan cahaya sukmanya yang membayang di kain yang tergantung di dinding itu.
Hal yang menunjukkan kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa hiperbola adalah ‘keindahan cahaya sukmanya’ yang terasa melebih-lebihkan kenyataan. Jika diartikan kata demi kata, maka ‘keindahan berarti sifat-sifat yang elok’, ‘cahaya berarti (1) sinar yang memungkinkan mata menangkap bayangan benda-benda, (2) kilau gemerlap, (3) kejernihan yang terpancar dari air muka’, dan ‘sukma berarti jiwa; nyawa’. Dengan demikian maka frasa tersebut tidak dapat diartikan dengan makna denotatif melainkan menggunkan makna konotatif.

·         Pada wajah orang tua itu tergambar kekuatan batin yang tak terhingga, gores-gores tertera di keningnya, di sebelah menyebelah pipinya, dan kupiahnya berkerumuk menutup kepalanya sehingga sedikit saja kelihatan rambutnya yang putih, di sela di sana-sini oleh rambut hitam; bibirnya membayangkan kekuatan kemauan hatinya yang terdesak, dan tangannya terletak di atas bahu pemuda itu, ringan tetapi kuat.
Hal yang menunjukkan kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa hiperbola adalah ‘pada wajah orang tua itu tergambar kekuatan batin yang tak terhingga’. Ungkapan tersebut terasa berlebihan karena secara umum diketahu bahwa kekuatan batin itu tergambar pada sikap seseorang dalam menjalani kehidupan, tetapi di sini pengarang (Usmar Ismail) menggunakannya pada kata ‘wajah’. Jika kalimat tersebut diartikan secara denotatif maka makna sesungguhnya tidak dapat ditemukan.

·         Hanya ketika aku terdiam, berdiri melihat muka yang berseri itu, terasa olehku bahwa suatu alun meresap ke dadaku, menahan nafasku, suatu alun pengertian di antara dia dan aku.
Hal yang menunjukkan kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa hiperbola adalah ‘terasa olehku bahwa suatu alun meresap ke dadaku, menahan nafasku’. Ungkapan tersebut terasa berlebihan karena kata meresap berarti ‘(1) masuk pelan-pelan ke lubang kecil atau lembut, (2) merembes; menetes; dan (3) hilang lenyap’, yang jika dikaitkan pada ungkapan meresap ke dadaku, maka makna denotatifnya tidaklah cocok sehingga kesan berlebih-lebihan lebih terasa.

·         Mendengar harga yang disebut-sebut itu, mendidih darahku, bukan buatan marahku.
Hal yang menunjukkan kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa hiperbola adalah ‘mendidih darahku’.  Ungkapan ‘‘mendidih darahku’ terasa berlebihan karena kata mendidih umum digunakan pada proses memanaskan zat cair.

·         Ketika itu jelas padaku, bahwa catnya masih baru, hilang marahku, hanya sekarang berganti dengan perasaan benci yang tak terhingga, benci terhadap orang yang meniru ini, yang menjual jiwa dan sukma seorang ahli seni yang besar.
Hal yang menunjukkan kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa hiperbola adalah ‘jiwa dan sukma seorang ahli seni’. Kata sukma berarti jiwa, maka dapat diketahui bahwa pengarang menggunakan makna yang sama dua kali dan itu termasuk pemborosan.

·         Aku menoleh dan di dinding yang ditunjukkannya itu kelihatan olehku gambar “Murid dan Guru,” kotor tak pernah dibersihkan penuh debu, tapi sungguhpun demikian masih mempunyai sinar yang membayang dari bawah kotoran yang menutupinya itu.
Hal yang menunjukkan kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa hiperbola adalah ‘tapi sungguhpun demikian masih mempunyai sinar yang membayang dari bawah kotoran yang menutupinya itu’. Jika dimaknai secara denotatif maka tidak dapat dipahami bahwa hal yang indah itu dapat dilihat dari bawah kotoran yang menutupinya.

3)      Paradoks
Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengemukakan hal seolah-olah bertentangan tapi sebenarnya tidak karena objek yang dikemukakan berbeda dan keduanya benar. Gaya bahasa paradoks yang ditemukan pada cerpen, yaitu.
·         Pada wajah orang tua itu tergambar kekuatan batin yang tak terhingga, gores-gores tertera di keningnya, di sebelah menyebelah pipinya, dan kupiahnya berkerumuk menutup kepalanya sehingga sedikit saja kelihatan rambutnya yang putih, di sela di sana-sini oleh rambut hitam; bibirnya membayangkan kekuatan kemauan hatinya yang terdesak, dan tangannya terletak di atas bahu pemuda itu, ringan tetapi kuat.
Hal yang menunjukkan kalimat tersebut paradoks adalah ‘ringan tapi berat’. Dikemukakan bahwa tangan seseorang itu ringan tetapi kemudian dinyatakan kuat.

4)      Litotes
Litotes merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata berlawanan arti dengan maksud yang ingin dinyatakan dan bertujuan untuk merendahkan diri. Gaya bahasa  litotes yang ditemukan pada cerpen, yaitu.
·         Betapa dambanya aku kadang-kadang akan membawa “ciptaan-ciptaan”ku kepadanya, mempersembahkan kerja yang jauh dari sempurna itu, mengatakan,...
Hal yang menunjukkan kalimat tersebut litotes adalah ‘mempersembahkan kerja yang jauh dari sempurna itu’, padahal ia merupakan orang yang sangat pandai.

c.       Gaya bahasa perulangan
1)      Aliterasi
Aliterasi merupakan gaya bahasa yang memanfaatkan kata-kata yang permulaan bunyinya sama. Gaya bahasa aliterasi yang ditemukan pada cerpen yaitu.
·         Demikianlah asal mulanya aku bergiat, mencoba menggambar, membayangkan penghidupan di atas layar penghidupan dengan tak mengacuhkan caci pujian,...
·         Si pembeli tadi menawar satu rupiah, sedangkan si penjual meminta serupiah setengah.
·         Setiba kami di sebuah kampung yang belum pernah aku jejak, dibawa aku oleh si penjual tadi ke sebuah pondok bambu, rendah dan tak teratur tampaknya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab II dapat disimpulkan bahwa pada cerpen ‘Permintaan Terakhir’ karya Usmar Ismail ditemukan 29 buah gaya bahasa yang terbagi atas: 11 buah gaya bahasa perbandingan, 15 buah gaya bahasa pertentangan, dan 3 buah gaya bahasa perulangan.  Gaya bahasa perbandingan yang terdapat yaitu 3 metafora, 5 antisipasi, dan 3 aliterasi. Gaya bahasa pertentangan yang terdapat yaitu 5 inversi, 8 hiperbola, 1 paradoks, dan 1 litotes. Gaya bahasa perulangan yang terdapat yaitu 3 aliterasi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa cerpen tersebut dominan menggunakan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan.

3.2  Saran
            Adapun saran penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Seorang peneliti sastra harus membekali dirinya dengan pemahaman yang baik terhadap dasar-dasar sastra agar kajian sastra yang dihasilkan lebih bermutu.
2.      Hendaknya para pemerhati sastra dan masyarkat penikmat sastra dapat meluangkan waktunya untuk membaca cerpen sebagai wujud apresiasi terhadap karya sastra khususnya sastra yang lahir dalam daerah.





 DAFTAR PUSTAKA

Kosasih, E. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya.
Muhardi dan HasanuddinWS. 1992. Prosedur Analsisi Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.
Ramadansyah. 2012. Paham dan Terampil Berbahasa dan Bersastra Indonesia. Bandung: Dian Aksara Press.
Soetarno. 1983. Peristiwa Sastra Indonesia Untuk SMA & Sekolah-Sekolah sedarajat. Surakarta: Widya Duta.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.