STRATEGI
BERTUTUR MENURUT BROWN DAN LEVINSON
STRATEGI
BERTUTUR MENURUT BLUM-KULKA
OLEH
KELOMPOK V:
1.
ROZA
JULIANI 12080273
2.
ZULMAIMI
EKA PUTRI 12080250
DOSEN
PEMBINA:
DIYAN
PERMATA YANDA, M.Pd.
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIDKAN
(STKIP)
PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Manusia
sebagai makhluk sosial memerlukan interaksi dengan sesama. Interaksi itu dapat
dilakukan dengan berkomunikasi secara lisan maupun tulis. Komunikasi lisan
dalam konteks dan situasinya memerlukan strategi tertentu untuk mendapatkan
hasil komunikasi yang diharapkan. Setiap partisipan senantiasa mengharapkan
komunikasi dapat terjalin dengan baik dan saling memahami antarpartisipan
(penutur dan mitra tutur). Dengan demikian, setiap partisipan akan menggunakan
strategi tertentu yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapainya.
Strategi
bertutur yang digunakan oleh penutur perlu mempertimbangkan mitra tutur, seperti
status sosial mitra tutur dan kekuasaan mitra tutur dalam lingkungannnya. Dalam
bertutur, penutur perlu memahami konteks dan situasi agar penutur tersebut
dapat memilih strategi yang tepat untuk berkomunikasi. Kesesuaian strategi yang
dipilih sangat mendukung untuk terciptanya suasana bertutur yang sesuai dengan
harapan.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah
dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah
strategi bertutur menurut Brown dan Levinson?
2. Bagaimanakah
strategi bertutur menurut Blum-Kulka?
C.
Tujuan Penulisan
Penulisan ini
bertujuan:
1. Menjabarkan
strategi bertutur menurut Brown dan Levinson.
2. Menjabarkan
strategi bertutur menurut Blum-Kulka.
D.
Manfaat
Penulisan
Semoga
penulisan makalah ini bermanfaat bagi pembaca, terutama pembaca yang ingin
mengetahui tentang strategi bertutur.
BAB
II
PEMBAHASAN
Strategi
bertutur telah dikemukakan oleh banyak ahli, diantaranya Brown dan Levinson dan
Blum-Kulka. Brown dan Levinson mengemukakan lima strategi bertutur dan
Blum-Kulka mengemukakan tiga strategi bertutur. Penjelasan tentang stategi
bertutur ahli tersebut akan dibahas berikut ini.
A.
Strategi
Bertutur Menurut Brown dan Levinson
Strategi bertutur merupakan cara atau teknik yang
digunakan penutur dalam meyampaikan tuturan dengan mempertimbangkan situasi
tutur. Menurut Brown dan Levinson (dalam Syahul, yang dikutip Darmawanti, dkk,
2014) dasar yang menjadi pertimbangan strategi bertutur ada tiga faktor yaitu: (1) jarak
sosial antara penutur dan mitra tutur (social
distance = D), (2) perbedaan kekuasaan antara penutur dan mitra tutur (power = P), (3) ancaman suatu tindak
tutur berdasarkan pandangan budaya tertentu (the absolute rangking of inposisition in the particular culture =
Rx).
Brown dan Levinson
(dalam Manaf, 2013: 214) menyatakan lima
strategi bertutur, yaitu (1)
bertutur secara terus terang tanpa basa-basi (bald on record);
(2) bertutur dengan menggunakan basa-basi kesopanan posistif (positive
politeness); (3) bertutur dengan menggunakan basa-basi kesopanan negatif (negative
politeness); (4) bertutur secara samar-samar (off record); (5) tidak
menuturkan sesuatu atau diam (Don’t do the FTA).
1.
Strategi bertutur secara terus terang
tanpa basa-basi (bald
on record)
Menurut
Brown dan Levinson (dalam Amaliah, 2011: 20) strategi bertutur secara terang
atau tanpa basa-basi dipilih penutur jika penutur tidak khawatir dengan
pembalasan mitra tutur dan penutur memiliki keinginan untuk mengancam muka
tanpa mempertimbangkan muka mitra tutur. Penyebab hal tersebut adalah
dikarenakan penutur, misalnya memiliki derajat sosial lebih tinggi dari mitra
tutur atau penutur memiliki kekuasaan yang lebih dari pada mitra tutur.
Contoh
tuturan:
“Pakaianmu
terlalu mencolok” yang dituturkan seorang wanita kepada temannya ketika akan
pergi ke pesta.
2.
Strategi bertutur dengan menggunakan
basa-basi kesopanan positif (positive
politeness)
Menurut Brown dan
Levinson (dalam Amaliah, 2011: 21) strategi bertutur dengan menggunakan
basa-basi kesopanan positif ini digunakan untuk menutupi muka positif mitra tutur.
Pada hakikatnya, bertutur dengan kesopanan positif ditujukan untuk melindungi
muka positif mitra tutur yaitu citra positif yang dianggap dimiliki mitra
tutur. Brown dan
Levinson (dalam Aditiansyah, 2014: 2) menyatakan strategi bertutur dengan
basa-basi kesantunan positif (disingkat BBKP) terdiri atas 10 substrategi
yaitu, (1) tuturan menggunakan penanda
identitas sebagai anggota kelompok yang sama, (2) tuturan memberikan alasan,
(3) tuturan melibatkan Pn dan Mt dalam satu kegiatan, (4) tuturan mencari kesepakatan,
(5) tuturan melipatgandakan simpati kepada Mt (6) tuturan berjanji, (7) tuturan
memberikan penghargaan kepada Mt, (8) tuturan bersikap optimis, (9) tuturan
bergurau, dan (10) tuturan menyatakan saling membantu.
Contoh tuturan:
“Anda menyukai baju ini, Bu?” yang dituturkan oleh seorang
penjaga toko pakaian kepada seorang wanita yang sedang melihat-lihat baju yang
dijualnya.
3. Strategi
bertutur dengan
menggunakan basa-basi kesopanan negatif (negative politeness)
Menurut Brown dan Levinson (dalam Amaliah,
2011: 21) strategi bertutur dengan menggunakan basa-basi kesopanan negatif
bertujuan untuk memenuhi atau menyelamatkan sebagian muka negatif mitra tutur
yaitu keinginan dasar mitra tutur untuk mempertahankan hal yang dianggapnya
sebagai wilayah dan keyakinan dirinya. Lebih lanjut, Brown dan Levinson (dalam
Aditiansyah, 2014: 2) menyatakan strategi bertutur basa-basi kesantunan negatif
(disingkat BBKN) direalisasikan dalam bentuk substrategi berikut: (1) tuturan
berpagar, (2) tuturan tidak langsung, (3) tuturan meminta maaf, (4) tuturan
menimbulkan beban, (5) tuturan perintah dalam bentuk pertanyaan, (6) tuturan
impersonal, (7) tuturan yang menyatakan kepesimisan, (8) tuturan yang
mengungkapkan pernyataan sebagai aturan umum, dan (9) tuturan yang mengatakan
rasa hormat.
Contoh tuturan:
“Kata
Ayu, Bapak mencari saya?” yang dituturkan oleh ketua kelas kepada dosennya.
4.
Strategi bertutur secara samar-samar (off
record)
Menurut
Brown dan Levinson (dalam Amaliah, 2011: 21) strategi bertutur secara
samar-samar dilakukan jika penutur menginginkan tindakan mengancam muka tetapi
tidak ingin bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Strategi bertutur ini
mengindikasikan bahwa penutur ingin mitra tuturnya menafsirkan sendiri hal yang
dinyatakan oleh penutur. Brown dan Levinson (dalam Aditiansyah, 2014: 3)
mengemukakan strategi bertutur samar-samar (disingkat BSS) terdiri atas 15 substrategi yaitu, (1) menggunakan
isyarat, (2) menggunakan petunjuk-petunjuk asosiasi, (3) mempraanggapan, (4)
menyatakan kurang dari kenyataan yang sebenarnya, (5) menyatakan lebih dari
kenyataan yang sebenarnya, (6) menggunakan tautologi, (7) menggunakan
kontradiksi, (8) menjadikan ironi, (9) menggunakan metafora, (10) menggunakan
pertanyaan retoris, (11) menjadikan pesan ambigu, (12) menjadikan pesan kabur,
(13) menggeneralisasikan secara berlebihan, (14) mengalihkan petutur, dan (15)
menjadikan tuturan tidak lengkap atau elipsis
Contohnya
tuturan:
“Kamu harus ke sana!” yang
dituturkan oleh seorang Ibu kepada anaknya yang ingin bermain dengan menunjuk
tempatnya.
5.
Strategi bertutur tidak menuturkan sesuatu atau
diam (Don’t do the FTA)
Menurut Brown dan
Levinson (dalam Amaliah, 2011: 22) strategi bertutur dengan tidak menuturkan sesuatu atau
diam dilakukan oleh penutur dengan cara tidak menyatakan apa yang ada di dalam
pikirannya. Strategi bertutur ini bertujuan agar penutur tidak menyakiti mitra
tutur melalui tuturan yang mungkin berpotensi menyakiti mitra tutur.
Contoh tuturan:
“Andai saja aku menyatakan cintaku
kepadanya sedari dulu,” bisik seorang wanita dalam hati yang merasa kecewa pria
yang ia cinta memilih wanita lain.
B.
Strategi
Bertutur Menurut Blum-Kulka
Blum-Kulka (dalam Syahrul, dikutip Darmawanti,
dkk, 2014) mengemukakan bahwa sistem kesantunan mewujudkan penafsiran budaya
tentang interaksi di antara empat parameter penting, yaitu motivasi sosial,
cara pengungkapan, perbedaan sosial, dan makna sosial. Blum-Kulka menguji
kesantunan dalam konteks bahasa Yahudi Israel dengan menginterpretasikan
kembali teori-teori kesantunan dengan
cara kultur-relativistik. Istilah 'norma-norma budaya' atau 'skrip budaya'
merupakan istilah terpenting pada pendekatan teori yang diterapkannya. Blum-Kulka
mengemukakan strategi bertutur atas tiga yaitu strategi bertutur langsung,
strategi bertutur tidak langsung, dan strategi bertutur menggunakan isyarat.
1.
Strategi Bertutur Langsung
Menurut Blum-Kulka (dalam Mellastyawan, 2014)
strategi langsung dan tidak langsung yang digunakan dalam penyampaian tindak
tutur berkaitan dengan dua dimensi, yaitu dimensi pilihan pada bentuk dan
dimensi pilihan pada isi. Dimensi bentuk berkaitan dengan bagaimana suatu
tuturan diformulasikan atau bagaimana ciri formal (berupa pilihan bahasa dan
variasi linguistik) suatu tuturan dipakai untuk mewujudkan suatu ilokusi. Dimensi
isi berkaitan maksud yang terkandung pada tuturan tersebut. Jika isi tuturan
mengandung maksud yang sama dengan makna performasinya, maka tuturan tersebut
dituturkan dengan strategi langsung. Sebaliknya, jika maksud suatu tuturan
berbeda dengan makna performasinya maka tuturan tersebut dituturkan dengan
strategi tidak langsung.
Blum-Kulka (dalam Karim,
2011) menjelaskan bahwa tindak tutur langsung adalah tuturan yang modus dan
makna kata-katanya sama dengan maksud pengutaraannya. Penggunaan strategi langsung
dalam suatu pertuturan dimaksudkan untuk mencapai pemahaman yang sama antara
penutur (Pn) dengan mitra tutur (Mt). Dengan strategi langsung Pn mengharapkan
Mt dapat memahami tuturan secara efektif sebagaimana dimaksudkan Pn. Wijana,
(1996: 30) mengemukakan bahwa tindak tutur langsung dapat dibentuk dari kalimat
berita yang difungsikan secara konvensional, kalimat tanya untuk brtanya, dan
kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dsb.
Contoh tuturan:
“Rambutmu sudah panjang” yang dituturkan
oleh seorang perempuan kepada teman perempuannya.
2.
Strategi
Bertutur Tidak Langsung
Strategi tidak langsung
atau tuturan tidak langsung adalah strategi atau tuturan yang modus dan makna
kata-katanya tidak sesuai dengan maksud tuturan. Dapat juga dikatakan bahwa
strategi atau tuturan tidak langsung merupakan tuturan yang disampaikan dengan
cara lain untuk mengungkapkan suatu maksud. Menurut Yule (dalam Karim, 2011),
apabila terdapat hubungan yang tidak langsung antara struktur dan fungsi,
hubungan itu menandakan bahwa tindak tutur merupakan tindak tutur tidak
langsung. Menurut Wijana (1996: 31) tuturan yang diutarakan secara tidak
langsung biasanya tidak dapat dijawab secara langsung, tetapi harus segera
dilaksanakan maksud yang terimplikasi di dalammya.
Contoh tuturan:
“Di mana sapunya?” yang dituturkan oleh
seorang ibu kepada anaknya, dapat berfungsi untuk menanyakan dimana letak sapu
itu dan juga secara tidak langsung memerintah sang anak untuk mengambil sapu
itu.
3.
Strategi
Bertutur Dengan Isyarat
Strategi
bertutur dengan isyarat (dalam Darmawanti, dkk, 2014) merupakan tuturan yang
isinya tidak ada relevansi dengan maksud tuturan tersebut. Contoh tuturan,
‘Aduh, cantiknya bunga yang satu itu, Buk. Bagaimana kalau dipindahkan saja ke
rumah saya?’ Kalimat tersebut dituturkan oleh seorang pemuda yang menginginkan
sebatang bunga yang tumbuh di pekarangan seorang ibu dan kini berbunga dengan
cantik milik orang tua teman perempuan
pemuda itu. Secara
literal, tuturan tersebut bermakna pujian yang diiringi keinginan penutur
untuk memiliki bunga milik mitra tutur. Secara kontekstual, penutur seorang
pemuda dab mitra tutur seorang ibu yang memiliki anak gadis terlibat dalam
tuturan yang bermaksud permintaan dari penutur. Permintaan tersebut adalah
penutur meminta agar petutur memberikan anak gadisnya sebagai calon istri dan
menjadikannya menantu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan pada bab 2 (dua) dapat disimpulkan bahwa.
1.
Strategi bertutur menurut Brown dan
Levinson ada lima, yaitu strategi
bertutur secara terus terang tanpa basa-basi (bald on record), strategi bertutur
dengan menggunakan basa-basi kesopanan positif (positive politeness), strategi
bertutur dengan
menggunakan basa-basi kesopanan negatif (negative politeness), strategi
bertutur secara
samar-samar (off record), dan strategi bertutur tidak menuturkan sesuatu atau
diam (don’t do the FTA).
2.
Strategi
bertutur menurut Blum-Kulka yaitu strategi bertutur langsung, strategi bertutur
tidak langsung, dan strategi bertutur dengan isyarat. Strategi bertutur
langsung merupakan tuturan yang makna kata-katanya sama dengan maksud yang
diujarkan, sedangkan strategi bertutur tidak langsung merupakan tuturan yang
makna kata-katanya tidak sama dengan maksud yang diujarakan.
B. Saran
Bertutur
merupakan kegiatan yang sangat sering dilakukan oleh setiap orang dalam
kesehariannya. Bertutur sebagai interaksi yang dilakukan untuk menjalin
komunikasi yang baik, maka penutur perlu memilih strategi bertutur yang tepat
dalam melakukan interaksi tersebut. Pemilihan strategi yang tepat akan
mendapatkan hasil berkomunikasi yang sesuai dengan harapan. Untuk itu, penutur
perlu menggunakan strategi tertentu untuk maksud yang tertentu pula.
DAFTAR
RUJUKAN
Aditiansyah,
Diki Fahrudin. 2014. “Fenomena Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Indonesia
Lawyers Club Di TV One”. Jurnal Ilmiah.
Universitas Pendidikan Indonesia.
Amaliyah,
Farhanah. 2011. “Strategi Bertutur Pemandu Acara Dan Narasumber: Sebuah
Analisis Kesantunan Berbahasa Dalam Acara Suara Anda Metro”. Jurnal Ilmiah. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Universitas Indonesia.
Darmawanti,
Meta, dkk. 2014. “Strategi Bertutur”. Makalah.
Padang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Padang.
Karim,
Ali. 2011. “Tindak Perintah Dalam Wacana Kelas: Kajian Strategi Bertutur Di
Madrasah Tsanawirah Alkhairaat Palu”. Jurnal
Ilmiah.
Manaf, Ngusman Abdul. 2013. “Kesopanan Tindak Tutur Menyuruh Dalam Bahasa
Indonesia”. Jurnal Ilmiah. Padang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang.Stiawati, Eti. “Kompetensi Tindak Direktif Anak Usia Prasekolah”
Mellasyawan,
Yogi. 2014. “Tindak Tutur”. (Online) http://dinginp.blogspot.co.id/2014/06/tindak-tutur_23.html.
Diakses Oktober 2015.
Wijana,
I Dewa. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik.
Yogyakarta: Andi Offset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar