Selasa, 01 Agustus 2017

MAKALAH ANALISIS GAYA BAHASA PUISI

ANALISIS GAYA BAHASA
PUISI GADIS KITA KARYA AFRIZAL MALNA




OLEH:

ZULMAIMI EKA PUTRI
12080250
H









DOSEN PEMBINA:
RAHAYU FITRI, M.Pd.













PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2015





BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang Masalah
Puisi merupakan karya kreatif yang hadir menyuguhkan beragam pengalaman dengan menggunakan kata-kata yang indah dan mengagumkan. Kosasih (2012: 97) menyatakan bahwa, puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna. Keindahan  sebuah puisi tersebut disebabkan oleh diksi, majas, rima, dan irama yang terkandung dalam karya sastra itu. Selain itu, puisi menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari karena bahasa puisi itu ringkas, namun maknanya sangat kaya.
Sebuah puisi yang hadir pada dasarnya memiliki latar belakang tersendiri. Misalnya, menceritakan tentang hal yang terjadi pada suatu masa, maka seseorang dapat menyampaikannya dengan cara menulis puisi. Atau, seseorang ingin menyoroti kehidupan modren yang dijalani oleh seseorang, ia bisa mengungkapkannya melalui puisi. Seperti, Afrizal Malna yang menyoroti kehidupan wanita modren dengan menulis puisi dengan judul “Gadis Kita”.
Afrizal Malna merupakan penyair yang lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sejak menamatkan SLA pada tahun 1976, ia tidak melanjutkan sekolah. Pada tahun 1981, ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebagai mahasiswa khusus hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983. Ia menikah pada usia 27 tahun. Ia pernah bekerja selama kurang lebih sepuluh tahun di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan asuransi jiwa. Sekarang, ia lebih banyak berkiprah di bidang seni, sebagai sutradara pertunjukan seni, kurator seni instalasi, penyair dan penulis. Bukunya antara lain: Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan Sastra kontekstual (1986), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, kumpulan prosa (2003), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (2004), Lubang dari Separuh Langit (2005). Penghargaan yang pernah diterima: Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika, harian Republika (1994), Esei majalah Sastra Horison (1997), Dewan Kesenian Jakarta (1984). (Sihaloholistick, 2014)

1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah bagiamanakah penggunaan gaya bahasa pada puisi Gadis Kita karya Afrizal Malna?
1.3  Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa pada puisi Gadis Kita karya Afrizal Malna.
1.4  Manfaat Penulisan
Penulisan diharapkan bermanfaat bagi.
a.       Penulis sebagai bentuk pengungkapan kemampuan dalam menganalisis gaya bahasa pada puisi.
b.      Pembaca, semoga menambah pengetahuan tentang analisis gaya bahasa terutama gaya bahasa puisi.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Kajian Teori
Teori-teori yang digunakan pada penulisan ini adalah hakikat puisi dan hakikat gaya bahasa.
2.1.1        Hakikat Puisi
a.         Pengertian puisi
Secara etimologi dalam bahasa Yunani kata puisi berasal dari kata poesis yang berarti penciptaan. Pencipta puisi adalah orang yang dianggap hampir menyerupai dewa/orang yang amat suka kepada dewa-dewa. Orang yang seperti itu adalah orang yang berpenglihatan tajam, memiliki daya imajinasi tinggi, atau orang suci. (Gani, 2014: 13-14)
Hasanuddin WS (2012: 4) mengemukakan bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan. Perasaan dan pikiran penyair yang masih abstrak dikongkretkan dan untuk mengongkretkan peristiwa-peristiwa yang telah direkam di dalam pikiran dan perasaan penyair, puisi merupakan satu diantara sarannya. Pengkongkretan intuisi melalui kata-kata itu dilakukan dengan prinsip seefesien dan seefektif mungkin. Senada dengan Hasanuddin WS, Gani (2014: 14) menyatakan bahwa puisi merupakan ungkapan perasaan penulis yang diterjemahkan dalam susunan kata-kata dalam bentuk bait-bait berirama dan memiliki makna yang dalam.
Menurut Suyitno (2009: 78) puisi bersifat pemusatan dan konsentrasif karena bentuknya yang memuaskan pelukisannya pada hal-hal yang pokok saja. Bahasa puisi adalah bahasa yang mengandung logika tidak lumrah dan mengandung makna yang melebihi atau mengatasi bahasa biasa. Puisi adalah totalitas estetika bahasa yang mengandung kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa diungkapkan dalam dan dengan komunikasi bahasa.


b.        Unsur-unsur puisi
Gani (2014: 16-22) mengemukakan bahwa secara sederhana batang tubuh sebuah puisi terbentuk dari beberapa unsur. Unsur tersebut meliputi: (1) Kata. Kata merupakan unsur utama dalam pembentukan sebuah puisi. Melalui rangkaian kata, seorang penyair mengekspresikan pikiran, perasaan, dan sikapnya. Melalui kata-kata juga seorang pembaca menyelami pikiran, perasaan, dan sikap seorang penyair. (2) Larik. Larik adalah baris-baris yang membangun sebuah puisi. Larik puisi bisa berupa satu kata, frasa, klausa, dan kalimat. (3) Bait. Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun secara harmonis. Biasanya bait memiliki kesatuan pemikiran tersendiri. (4) Bunyi. Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima/persajakan adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata di dalam larik dan bait. Sedangkan irama/ritme adalah pergantian tinggi rendahnya , panjang pendeknya, dan keras lembutnya ucapan bunyi. (5) Makna. Makna merupakan isi/kandungan nilai yang sekaligus menjadi pesan yang hendak disampaikan oleh sebuag puisi.
Selain memiliki batang tubuh Gani juga mengemukakan bahwa puisi memiliki struktur. Stuktur tersebut terbagi atas struktur batin dan struktur fisik. Struktur batin puisi yaitu. (1) Tema/ide/gagasan, merupakan pokok persoalan yang dikemukakan suatu puisi dan menduduki tempat utama di dalam puisi.      (2) Rasa, merupakan apresiasi, sikap, atau emosional penyair terhadap pokok permasalahan yang disampaikan di dalam puisi yang ditulisnya. (3) Nada, berkaitan dengan sikap penyair terhadap persoalan yang dibicarakan di dalam karyanya, mislanya menggurui, merayu, mengajak, menyindir, dan sebagainya. Dan, (4) amanat/tujuan/maksud, merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh penyair, misalnya: mengharapkan pembaca marah, benci, menyenangi sesuatu, dan berontak pada sesuatu. Sedangkan struktur fisik sebuah puisi yaitu. (1) Tipografi (perwajahan), merupakan penampakan sebuah puisi sebagai salah satu dari hasil seni kreatif. (2) Imaji (daya bayang), merupakan kata/susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi seseorang. (3) Kata kongkret, merupakan kata-kata yang digunakan seorang penyair secara eksplisit dalam mengemukakan persoalan yang disampaikan. (4) Bahasa figuratif, merupakan bahasa yang penuh dengan kiasan. Dan, (5) verifikasi, berkaitan dengan persoalan rima, irama, ritme, dan metrum. Rima dalam hal ini juga mencakup persoalan onomatope (tiruan bunyi) dan bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir).

c.       Jenis-jenis puisi
Kosasih (2012: 109-115) mengemukakan bahwa berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak disampaikan, puisi terbagi ke tiga jenis, yaitu. (1) Puisi naratif, mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Puisi jenis ini terbagi ke dalam beberapa macam, yakni balada (berisi tentang orang-orang perkasa ataupun tokoh pujaan) dan romansa (puisi cerita yang menggunakan bahasa romatik yang berisi kisah percintaa, yang diselingi perkelahian, dan pertualang). (2) Puisi lirik, terbagi ke dalam beberapa macam, misalnya elegi, ode, dan serenada. Elegi merupakan puisi yang mengungkapkan perasaan duka, serenada merupakan puisi percintaan yang dapat dinyanyikan, dan ode merupakan puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau suatu keadaan.

2.1.2        Hakikat Gaya Bahasa
a.         Pengertian gaya bahasa
Date [et all] (dalam Tarigan, 2009: 4) menjelaskan bahwa, gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Dan dengan penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Menurut Tarigan (2009: 4), “Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk menyakinkan atau memengaruhi penyimak atau pembaca”.
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 5) menyebutkan bahwa, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memerlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Lebih lanjut Keraf mengemukakan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu: kejujuran, sopan-santun, dan menarik. Menurut Muhardi dan Hasnuddin WS (1992: 35) pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang memergunakan bahasa sebagai medium fiksi. Penggunaan bahasa tulis dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pengarang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, gaya bahasa merupakan bahasa indah yang diungkapkan seseorang (penyair, pengarang, ataupun pembicara) untuk menyampaikan gagasan dan perasaannya. Tujuan penggunaan gaya bahasa adalah untuk menyakinkan atau memengaruhi seseorang terhadap suatu hal atau topik yang dibahas. Kepiawaian seorang pengarang atau pembicara dalam memergunakan gaya bahasa dapat menjadi ciri pembeda antarpengarang atau pembicara.

b.        Jenis-jenis gaya bahasa dalam karya sastra
Tarigan (2009) mengklasifikasikan jenis-jenis gaya bahasa dalam karya sastra ke dalam empat kelompok, yaitu: (a) gaya bahasa perbandingan, terdiri dari: perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pelonasme dan tautologi, perifrasis, antisipasi atau prolepsis, dan koreksi atau epanortosis, (b) gaya bahasa pertentangan, terdiri dari: hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralepsis, zeugma dan silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, anti klimaks, apostrof, anastrof atau inversi, apofasis atau preterisio, histeron proteron, hipalase, sinisme, dan sarkasme, (c) gaya bahasa pertautan, terdiri dari: metonimia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, dan polisindeton, dan (d) gaya bahasa perulangan, terdiri dari: aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodilopsis, epanalepsis, dan anadilopsis.

a)                  Gaya bahasa perbandingan
(1)      Perumpamaan/simile
Perumpamaan atau simile adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Ramadansyah (2012: 161) mengemukakan bahwa simile (perumpamaan sejajar) dengan membandingkan dua hal. Kata-kata yang umum digunakan sebagai ciri penanda perumpamaan/simile adalah ibarat, seperti, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, dan serupa. Contoh: ibarat mencengcang air, bak cacing kepanasan, dan seperti air dengan minyak.
(2)      Metafora
Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Menurut Poerwadarminta, (dalam Tarigan, 2009: 15), metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Ramadansyah (2012: 161) menyatakan bahwa metafora merupakan perbandingan suatu benda dengan benda lain secara langsung kerena memiliki sifat yang sama. Contoh: Aku terus memburu untung, Ali mata keranjang, dan ketawa merupakan vitamin menyehatkan tubuh.
(3)      Personifikasi
Personifikasi atau penginsanan adalah jenis gaya bahasa yang meletakkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Menurut  Ramadansyah (2012: 161) personifikasi menggambarkan sifat benda yang tidak bernyawa memiliki sifat seolah-olah sama dengan manusia. Contoh: Penelitian menuntut kecermatan, hujan memandikan tanaman, dan dinding mendengar cerita kita.
(4)      Depersonifikasi
Depersonifikasi atau pembendaan adalah gaya bahasa yang membendakan manusia atau insan. Kata-kata yang umum digunakan sebagai ciri penanda depersonifikasi yaitu kalau, jika, jikalau, bila (mana), sekiranya, misalkan, umpama, andai (kata), dan seandainya. Contoh: kalau dikau menjadi samudra, maka daku menjadi bahtera.
(5)      Alegori
Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang. Selain itu, alegori juga merupkan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat, atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan. Menurut Ramadansyah (2012: 162), alegori merupakan perbandingan yang bertaut hingga membentuk kesatuan yang utuh. Contoh: Kancil dan buaya, cerita Adam dan Hawa, dan cerita Yusuf.
(6)      Antitesis
Menurut Ducrot dan Todorov (dalam Tarigan, 2009: 26) antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Contoh: Dia bergembira ria atas kegagalanku dalam ujian itu.
(7)      Pleonasme dan Tautologi
Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2009: 28) mengemukakan bahwa,  pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan) yang sebenarnya tidak perlu (seperti menurut sepanjang adat, saling tolong-menolong). Tarigan (2009: 29) mengemukakan bahwa, pleonasme dan tautologi ialah acuan yang menggunakan suatu gagasan atau pikiran. Contoh Saya telah mencatat kejadian itu dengan tangan saya sendiri.
(8)      Perifrasis
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 31) mengemukakan bhawa, perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme. Pada gaya bahasa perifrasis, kata-kata yang berlebihan itu pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja. Contoh: Putri kami yang sulung telah melayarkan bahtera ke pulau Idamannya bersama tunangannya (nikah atau kawin).
(9)      Antisipasi atau Prolepsis
Shadily (dalam Tarigan, 2009: 33) mengemukakan bahwa antisipasi berarti ‘mendahului’ atau ‘penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi’. Contoh: Kami sangat gembira, minggu depan kami memperoleh hadiah dari bapak Bupati.

(10)  Koreksi atau Epanortosis
Koreksi atau epanortosis merupakan gaya bahasa yang berwujud mula-mula ingin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memeriksa dan memperbaiki mana-mana yang salah. Contoh: Kepala sekolah baru pulang dari Sulawesi Utara, maaf bukan, Sumatera Utara.

b)                  Gaya bahasa pertentangan
(1)      Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya dengan maksud memberikan penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkat kesan dan pengaruhnya. Ramadansyah (2012: 162) juga mengemukakan bahwa hiperbola merupakan gaya bahasa yang berisi pernyataan berlebih-lebihan/membesar-besarkan. Contoh: Tabungannya berjuta-juta, emasnya berkilo-kilo, sawahnya berhektar-hektar (untuk pengganti dia orang kaya).
(2)      Litotes
Menurut Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 58) litotes adalah gaya bahasa yang di dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya. Senada dengan Moeliono, Ramadansyah (2012: 162) juga mengemukakan bahwa, litotes merupakan gaya bahasa yang menguraikan/melunakkan arti, yang berlawanan dari kenyataan yang sebenarnya untuk merendahkan diri. Contoh: Indonesia bukanlah negara kecil dan terbelakang yang dapat diabaikan begitu saja dalam percaturan politik ASEAN.
(3)      Ironi
Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 61) mengemukakan bahwa ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Menurut Ramadansyah (2012: 162) ironi menggunakan kata yang berarti sebaliknya dengan maksud menyindir. Contoh: Aduh, bersihnya kamar ini, puntung rokok dan sobekan kertas bertebaran di lantai.

(4)      Oksimoron
Ducrot dan Tororov (dalam Tarigan, 2009: 63) mengemukan bahwa, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung penegasan atau pendirian suatu hubungan sintaksis─baik koordinasi maupun determinasi─antara dua antonim. Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 63) oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama. Ramadansyah (2012: 263) mengemukakan bahwa oksimoron merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata majemuk setara atau bertingkat. Contoh: Olahraga mendaki gunung memang menarik hati walaupun sangat berbahaya.
(5)      Paronomasia
Menurut Ducrot dan Tororov (dalam Tarigan, 2009: 63) paronomasia adalah gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tetapi bermakna lain atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi artinya berbeda. Contoh: Mari kita kubik beramai-ramai kacang tanah yang setengah kubik banyaknya itu.
(6)      Paralipsis
Ducrot dan Tororov (dalam Tarigan, 2009: 63) mengemukan bahwa, paralipsis adalah gaya bahasa yang merupakan suatu formula yang digunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri. Contoh: Tidak ada orang yang menyenangi kamu (maaf) yang saya maksud membenci kamu di desa ini.
(7)      Zeugma dan Silepsis
Zeugma dan silepsis adalah gaya bahasa yang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain yang pada hakikatnya hanya sebuah saja yang mempunyai hubungan dengan kata yang pertama. Silepsis merupakan penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis. Contoh: Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya. Sedangkan zeugma adalah silepsis dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstuksi sintaksis yang kedua sehingga menjadi kalimat yang rancu. Contoh: Kami sudah mendengar berita itu dari radio dan surat kabar.
(8)      Satire
Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 70) satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Contoh: puisi ‘Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya’ karya Taufik Ismail.
(9)      Inuendo
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 74) mengemukakan bahwa inuendo adalah gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasa ini menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sekitar. Contoh: Abangku sedikit gemuk karena terlalu kebanyakan makan daging berlemak.
(10)  Antifrasis
Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Contoh: Mari kita sambut kedatangan sang Raja (maksudnya si jongos).
(11)  Paradoks
Paradoks adalah suatu pernyataan yang bagaimana diartikan selalu berakhir dengan pertentangan. Keraf (dalam Tarigan, 2009: 77) mengemukakan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Contoh: Aku kesepian di tengah keramaian.
(12)  Klimaks
Shadily (dalam Tarigan, 2009: 79) mengemukakan bahwa klimaks adalah sejenis gaya bahasa yang berupa susunan uangkapan yang semakin lama semakin mengandung penekanan. Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 79) klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya gagasan-gagasan sebelumnya. Contoh: Setiap guru yang berdiri di depan kelas harus mengetahui, memahami, serta menguasai bahan yang diajarkannya.


(13)  Anti klimaks
Anti klimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Contoh: Penataran P4 diberikan kepada para dosen Perguruan Tinggi, para guru SMA, SMP, SD, dan TK.
(14)  Apostrof
Apostrof merupakan gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir.  Cara ini lazimnya dipakai oleh orator klasik atau para dukun tradisional. Contoh: Wahai para dewa-dewa yang berada di nirwana, segeralah datang dan lepaskan kami dari cengkraman yang durjana.
(15)  Anastrof atau Invers
Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 85), anastrof atau inversi adalah gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Ducrot and Todorov (dalam Tarigan, 2009: 85) mengemukakan bahwa, inversi adalah gaya bahasa permutasian atau perubahan urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis. Contoh: Merantaulah ia ke negeri seberang tanpa meninggalkan apa-apa.
(16)  Apofasis atau Preterio
Apofasis atau preterio merupakan gaya bahasa yang digunakan oleh penulis, pengarang, atau pembicara untuk menegaskan sesuatu tetapi tampaknya menyangkalnya. Contoh: Saya tidak ingin menyingkapkan dalam rapat ini bahwa putrimu itu telah berbadan dua.
(17)   Histeron Proteron
Histeron proteron merupakan gaya bahasa yang membalikkan sesuatu yang logis atau membalikkan sesuatu yang wajar. Menurut Keraf (dalan Tarigan, 2009: 88), histeron proteron adalah gaya bahasa yang kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar. Contoh: Pidato yang berapi-api itu keluar dari mulut orang yang berbicara terbata-bata itu.
(18)  Hipalase
Hipalase merupakan gaya bahasa yang menggunakan sesuatu kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain. Menurut Keraf (dalan Tarigan, 2009: 89), hipalase adalah gaya bahasa kebalikan dari suatu hubungan alamiah antara dua komponen. Contoh: Ia duduk pada sebuah bangku yang gelisah (yang gelisah: ia, bukan bangku).
(19)  Sinisme
Sinisme adalah gaya bahasa berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Menurut Ramadansyah (2012: 162), sinisme adalah sindiran yang lebih kasar dari ironi. Contoh: Memang tidak dapat diragukan lagi bahwa Andalah yang paling kaya di dunia yang mampu membeli kelima benua di bumi ini.
(20)  Sarkasme
Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2009: 92) mengemukakan bahwa, sarkasme adalah gaya bahasa yang mengandung ‘olok-olok atau sindiran pedas dan menyakitkan hati’. Menurut Ramadansyah (2012: 162), sarkasme adalah sindiran yang paling kasar, langsung menusuk perasaan, dan digunakan oleh orang yang sedang marah. Contoh: Otakmu otak udang.

c)                  Gaya bahasa pertautan
(1)      Metonimia
Menurut Dale (dalam Tarigan, 2009: 121), metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan nama suatu barang bagi sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 121) mengemukakan bahwa, metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal lain sebagai penggantinya. Contoh: Terkadang pena justru lebih tajam daripada pedang.
(2)      Sinekdoke
Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 123) mengemukakan bahwa, sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan atau sebaliknya. Menurut Ramadansyah sinekdoke dibagi atas dua macam, yaitu totem proparte dan pars pro tato. Totem proparte adalah gaya bahasa yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian, contoh: Padang sibuk menyiapkan lomba lagu minang. Sedangkan, pars pro tato adalah gaya bahasa yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan, contoh: Sudah dua hari Farid tidak tamppak batang hidungnya.
(3)      Alusi
Alusi atau kilatan adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan anggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan pada pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Contoh: Saya mengeri membayangkan kembali peristiwa Westerling.
(4)      Eufemisme
Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 126) mengemukakan bahwa, eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakn kasar (dianggap merugikan) atau yang dianggap tidak menyenangkan. Contoh: Ayahnya meninggal tadi pagi (meninggal sebagai pengganti ‘mati’)
(5)      Eponim
Eponim adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Contoh: Tahun ini terasa benar dawi sri merestui para petani desa ini.
(6)      Epitet
Epitet adalah gaya bahasa yang mengandung acuan untuk menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau suatu hal. Contoh: Lonceng pagi bersahut-sahutan di desa terpencil ini menyongsong mentari bersinar menerangi alam (lonceng pagi = ayam jantan).
(7)      Antonomasia
Antonomasi merupakan gaya bahasa yang menggunakan nama gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri. Contoh: Gubernur Sumatera Utara akan meresmikan pembukaan Seminar Adat Karo di Kabanjahe bulan depan.
(8)      Erotesis
Erotesis adalah gaya bahasa berupa pernyataan yang digunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menuntut suatu jawaban. Contoh: Soal ujian tidak sesuai dengan bahan pelajaran. Herankah kita jika nilai pelajaran Bahasa Indonesia pada Ebtanas tahun 1985 ini sangat merosot?
(9)      Paralelisme
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 131) mengungkapkan bahwa, paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Contoh: Baik kaum pria maupun kaum wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama secara hukum.
(10)  Elipsis
Ducrot and Todorov (dalam Tarigan, 2009: 133) elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya dilaksanakan penanggalan atau penghilangan kata atau kata-kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tata bahasa. Contoh: Mereka ke Jakarta minggu yang lalu (penghilangan predikat: pergi, berangkat)
(11)  Gradasi
Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan paling sedikit tiga kata atau istilah yang secara sintaksis bersamaan yang mempunyai suatu atau beberapa ciri-ciri semantik secara umum dan yang di antaranya paling sedikit suatu ciri diulang-ulang dengan perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif. Contoh: Kami berjuang dengan tekad; tekad harus maju; maju dalam kehidupan; kehidupan yang layak dan baik.
(12)  Asindeton
Asindenton adalah gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan saja oleh tanda koma. Contoh: Tujuan instruksional, materi pengajaran, kualitas guru, metode yang serasi, media pengajaran, pengelolaan kelas, evaluasi yang cocok, turut menetukan keberhasilan suatu proses belajar-mengajar.
(13)  Polisindeton
Polisindenton adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindeton. Dalam polisindeton, beberapa kata, frasa, atau kluasa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Contoh: Istri saya menanam nangka dan jambu dan cengkeh dan pepaya di pekarangan rumah kami.

d)                 Gaya bahasa perulangan
(1)      Aliterasi
Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan purwakanti atau pemakian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 175), aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Contoh: Dara damba daku, kalau ‘kanda kala kacau.
(2)      Asonansi
Asonansi adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vokal yang sama. Biasanya dipakai dalam karya puisi ataupun dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau menyelamatkan keindahan.
Contoh:
Kura-kura dalam perahu
sudah gaharu cendana pula
Pura-pura tidak tahu
sudah tahu bertanya pula
(3)      Antanaklasis
Ducrot and Todorov (dalam Tarigan, 2009: 179), antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Contoh: Karena buah penanya itu dia pun manjadi buah bibir masyarakat.
(4)      Kiasmus
Ducrot and Todorov (dalam Tarigan, 2009: 180) mengungkapkan bahwa, kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus pula merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. Contoh: Sudah lazim dalam hidup ini bahwa orang pintar mengaku bodoh, tetapi orang bodoh merasa dirinya pintar.
(5)      Epizeukis
Epizuekis adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung, yaitu kata yang ditekankan atau yang dipentingankan diulang beberapa kali berturut-turut. Contoh: Ingat, kamu harus bertobat, bertobat, sekali lagi bertobat agar dosa-dosamu diampumi oleh Tuhan Yang Mahakuasa dan  Maha Pengasih.
(6)      Tautotes
Karef (dalam Tarigan, 2009: 183) mengemukakan bahwa, tautotes adalah gaya bahasa perulangan atau repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Contoh: Aku menuduh kamu, kamu menuduh aku, aku dan kamu saling menuduh, kamu dan aku berseteru.
(7)      Anafora
Anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berulang perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat.
Contoh:
Lupakah engkau bahwa merekalah yang membesarkan dan mengasuhmu.
Lupakah engkau bahwa keluarga itulah yang menyekolahkanmu sampai ke perguruan tinggi?
Lupakan engkau bahwa engkau mereka pula yang mengawinkanmu dengan istrimu?
Lupakah engkau akan segala budi baik mereka itu kepadamu?
(8)      Epistrofa
Epistrofa adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan.
Contoh:
Bahasa resmi adalah bahasa Indonesia
Bahasa adalah bahasa Indonesia
Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia
Bahasa kebanggaan adalah bahasa Indonesia
(9)      Simploke
Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 187), simploke adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Contoh:
Ibu bilang saya pemalas. Saya bilang biar saja.
Ibu bilang saya lamban. Saya bilang biar saja.
Ibu bilang saya lengah. Saya bilang biar saja.
Ibu bilang saya manja. Saya bilang biar saja.
(10)  Mesodilopsis
Mesodilopsis adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh:
Anak merindukan orang tua
Orang tua merindukan anak
Aku merindukan pacarku
Dia merindukan ketenteraman batin
Kamu merindukan keberhasilan studimu
Kumbang merindukan kembang
Pungguk merindukan bulan
Ombak merindukan pantai
Pendeknya semua merindukan sesuatu di dalam hidup ini
(11)  Epanalepsis
Epanalepsis adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama dari baris, klausa, atau kalimat menjadi terakhir. Contoh: Bawalah aku ke mana engakau pergi, aku menyerahkan diriku padamu, bawalah.
(12)  Anadiplosis
Anadiplosis adalah gaya bahasa repetisi di mana kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama klausa atau kalimat terakhir. Contoh:
dalam mata ada kaca
dalam kaca ada adinda
dalam adinda ada asa
dalam asa ada cinta


2.2    Analisis Gaya Bahasa Puisi Gadis Kita Karya Afrizal Malna
GADIS KITA
O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Ja-  ngan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun. Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku. Nanti polisi marah. Nanti polisi marah. Nanti kucing menggigit kuning pita rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik warna-warni gadisku. Tubuhmu madu, tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya Tuhan, nanti kita semua dibawa hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu. Jangan terbang terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi sepatumu. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
 1985
      Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi “Gadis Kita” karya Afrizal Malna, adalah.
a.       Gaya bahasa perulangan
1)      Anafora
Anafora merupakan gaya bahasa perulangan kata pertama pada setiap garis. Gaya bahasa anafora yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·         Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku.
·         Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun.
·         Nanti polisi marah. Nanti polisi marah.
·         Nanti kita semua tidak punya Tuhan, nanti kita semua dibawa hantu gadisku.
·         Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu.
·         Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
Pada puisi digunakan gaya bahasa anafora dengan mengulang kata-kata, yaitu: kau, nanti, dan kita.


2)      Epifora (epistrofa/epistrofora)
Epifora/epistrofa/epistrofora merupakan gaya bahasa perulangan kata pada akhir baris atau kalimat berurutan. Gaya bahasa epistrofa yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·         O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Ja-  ngan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku.
·         Nanti polisi marah. Nanti polisi marah.
·         Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu.
·         Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
Pada puisi digunakan gaya bahasa epifora dengan mengulang kata-kata, yaitu: gadisku, marah, padamu, dan mati.

3)      Aliterasi
Aliterasi merupakan gaya bahasa perulangan yang memanfaatkan kata-kata yang permulaan konsonan berbunyi sama. Gaya bahasa aliterasi yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·         Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku.
·         Jangan terbang terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi sepatumu.
Pada puisi ditemukan gaya bahasa aliterasi dengan menghadirkan bunyi konsonan ‘t’ dan ‘k’.

4)      Asonansi
Asonansi merupakan gaya bahasa perulangan bunyi vokal yang sama. Gaya bahasa asonansi yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·         Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku.
Pada puisi ditemukan gaya bahasa asonansi dengan menghadirkan bunyi vokal ‘u’.
b.      Gaya bahasa perbandingan
1)      Metafora
Metafora merupakan gaya bahasa yang membandingkan benda tertentu dengan benda lain yang mempunyai sifat sama atau hampir sama. Gaya bahasa metafora yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·         Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku.
Kalimat tersebut membandingkan tubuh seseorang dengan sesuatu yang bernama neon. Jika neon yang dimaksud penyair adalah merk sebuah lampu, maka dapat diartikan bahwa tubuh seseorang tersebut bersinar terang.
·         Tubuhmu keramaian pasar gadisku.
Kalimat tersebut membandingkan tubuh seseorang dengan keramaian pasar. Keramaian pasar tersebut dapat diartikan sebaga keadaan yang melukiskan bahwa terdapat banyak pada tubuh seseorang tersebut, misalnya terdapat banyak asesoria yang melekat pada tubuh orang yang dilukiskan itu, seperti: jam tangan, cincin, dan kalung.
·         Tubuhmu madu, tubuhmu candu.
Kalimat tersebut membandingkan tubuh seseorang dengan madu yang berarti manis dan candu yang berarti dapat menimbulkan ketagihan (kecanduan).
2)      Personifikasi
Personifikasi merupakan gaya bahasa yang membandingkan benda mati tidak bergerak seolah-olah bernyawa dan dapat bersifat seperti manusia. Gaya bahasa personifikasi yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·         Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun.
Kalimat di atas menyatakan bahwa laut dan sabun memiliki sifat seperti manusia yaitu bisa membawa seseorang kepadanya.

Data yang ditemukan
No
Data
Gaya Bahasa
Keterangan
1.                   
O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Ja-  ngan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku.
Epifora
Ditandai dengan kata gadisku.
2.                   
Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku.
Anafora
Ditandai dengan penggunaan kata ‘kau’
3.                   
Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku.
Metafora
Neon=terang/ bercahaya.
4.                   
Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku.
Asonansi
Ditandai dengan penggunaan vokal ‘u’
5.                   
Tubuhmu keramaian pasar gadisku.
Metafora
Keramian pasar= banyak hal yang ada.
6.                   
Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun.
Anafora
Ditandai dengan penggunaan kata ‘nanti’
7.                   
Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun.
Personifikasi
Laut & sabun= membawa
8.                   
Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku.
Aliterasi
Ditandai dengan penggunaan konsonan ‘t’
9.                   
Nanti polisi marah. Nanti polisi marah.
Anafora
Ditandai dengan penggunaan kata ‘nanti’
10.               
Nanti polisi marah. Nanti polisi marah.
Epifora
Ditandai dengan pegunaan kata ‘marah’
11.               
Tubuhmu madu, tubuhmu candu.
Metafora
Tubuh= madu & candu
12.               
Nanti kita semua tidak punya Tuhan, nanti kita semua dibawa hantu gadisku.
Anafora
Ditandai dengan penggunaan kata ‘nanti’.
13.               
Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu.
Anafora
Ditandai dengan penggunaan kata ‘kita’.
14.               
Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu.
Epifora
Ditandai dengan penggunaan kata ‘padamu’.
15.               
Jangan terbang terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi sepatumu.
Aliterasi
Ditandai dengan ‘ter’ & ‘ke’
16.               
Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
Anafora
Ditandai dengan penggunaan kata ‘nanti’.
17.               
Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.

Epifora
Ditandai dengan penggunaan kata ‘mati’.




BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
      Berdasarkan pembahasan pada bab II dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang ditemukan pada puisi ‘Gadis Kita’ karya Afrizal Malna adalah tujuh belas buah gaya bahasa yang terbagi atas gaya bahasa perulangan dan gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa perulangan terdapat tiga belas buah, yang terdiri atas enam buah gaya bahasa anafora, empat buah gaya bahasa epifora, satu buah gaya bahasa asonansi, dan tiga buah gaya bahasa aliterasi. Gaya bahasa perbandingan terdapat empat buah, yang terdiri atas tiga buah gaya bahasa metafora dan satu buah gaya bahasa personifikasi. Dengan demikian, puisi ‘Gadis Kita’ karya Afrizal Malna didominasi dengan penggunaan gaya bahasa perulangan, dan kata yang sangat sering diulang adalah kata ‘gadisku’ dan ‘nanti’.

3.2 Saran
         Adapun saran penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Seorang peneliti sastra harus membekali dirinya dengan pemahaman yang baik terhadap dasar-dasar sastra agar kajian sastra yang dihasilkan lebih bermutu.
2.      Hendaknya para pemerhati sastra dan masyarkat penikmat sastra dapat meluangkan waktunya untuk membaca puisi sebagai wujud apresiasi terhadap karya sastra.



DAFTAR PUSTAKA

Gani, Erizal. 2014. Kiat Pembacaan Puisi: Teori dan Terapan. Bandung: Pustaka Reka Cipta.
Hasanuddin WS. 2012. Membaca dan Menilai Sajak. Bandung: Angkasa.
Kosasih, E. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya.
Ramadansyah. 2012. Paham dan Terampil Berbahasa dan Bersastra Indonesia. Bandung: Dian Aksara Press.
Sihaloholistick. 2014. “Puisi-Puisi Afrizal Malna”. (Online) http:// puisi-puisi afrizal malna _ lain-lain - jendela sastra.html. Diakses 09 Desember 2015.
Suyitno. 2009. Apresiasi Puisi dan Prosa. Surakarta: LPP UNS & UNS Press.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.