ANALISIS
GAYA BAHASA
PUISI
GADIS KITA KARYA AFRIZAL MALNA

OLEH:
ZULMAIMI
EKA PUTRI
12080250
H
DOSEN
PEMBINA:
RAHAYU
FITRI, M.Pd.
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP)
PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Puisi merupakan karya kreatif yang
hadir menyuguhkan beragam pengalaman dengan menggunakan kata-kata yang indah
dan mengagumkan. Kosasih (2012: 97) menyatakan bahwa, puisi adalah bentuk karya
sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna. Keindahan sebuah puisi tersebut disebabkan oleh diksi,
majas, rima, dan irama yang terkandung dalam karya sastra itu. Selain itu,
puisi menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari
karena bahasa puisi itu ringkas, namun maknanya sangat kaya.
Sebuah puisi yang hadir pada
dasarnya memiliki latar belakang tersendiri. Misalnya, menceritakan tentang hal
yang terjadi pada suatu masa, maka seseorang dapat menyampaikannya dengan cara
menulis puisi. Atau, seseorang ingin menyoroti kehidupan modren yang dijalani
oleh seseorang, ia bisa mengungkapkannya melalui puisi. Seperti, Afrizal Malna
yang menyoroti kehidupan wanita modren dengan menulis puisi dengan judul “Gadis
Kita”.
Afrizal Malna merupakan penyair yang
lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sejak menamatkan SLA pada tahun 1976,
ia tidak melanjutkan sekolah. Pada tahun 1981,
ia belajar di Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebagai mahasiswa khusus
hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983.
Ia menikah pada usia 27 tahun. Ia pernah bekerja selama kurang lebih sepuluh
tahun di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan
asuransi jiwa. Sekarang, ia lebih banyak berkiprah di bidang seni, sebagai
sutradara pertunjukan seni, kurator seni instalasi, penyair dan penulis.
Bukunya antara lain: Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan Sastra
kontekstual (1986), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur
Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman
(1998), Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih
(2000), Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, kumpulan
prosa (2003), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang
Malas Menceritakan Manusia (2004), Lubang dari Separuh Langit
(2005). Penghargaan yang pernah diterima: Kincir Perunggu untuk naskah monolog
dari Radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika Award untuk esei dalam
Senimania Republika, harian Republika (1994), Esei majalah Sastra Horison
(1997), Dewan Kesenian Jakarta (1984). (Sihaloholistick,
2014)
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada
penulisan ini adalah bagiamanakah penggunaan gaya bahasa pada puisi Gadis Kita
karya Afrizal Malna?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan
mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa pada puisi Gadis Kita karya Afrizal
Malna.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan
diharapkan bermanfaat bagi.
a. Penulis
sebagai bentuk pengungkapan kemampuan dalam menganalisis gaya bahasa pada puisi.
b. Pembaca,
semoga menambah pengetahuan tentang analisis gaya bahasa terutama gaya bahasa puisi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kajian
Teori
Teori-teori yang digunakan pada
penulisan ini adalah hakikat puisi dan hakikat gaya bahasa.
2.1.1
Hakikat
Puisi
a.
Pengertian
puisi
Secara
etimologi dalam bahasa Yunani kata puisi berasal dari kata poesis yang berarti penciptaan.
Pencipta puisi adalah orang yang dianggap hampir menyerupai dewa/orang yang
amat suka kepada dewa-dewa. Orang yang seperti itu adalah orang yang
berpenglihatan tajam, memiliki daya imajinasi tinggi, atau orang suci. (Gani,
2014: 13-14)
Hasanuddin
WS (2012: 4) mengemukakan bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan yang
imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan. Perasaan dan pikiran penyair yang
masih abstrak dikongkretkan dan untuk mengongkretkan peristiwa-peristiwa yang
telah direkam di dalam pikiran dan perasaan penyair, puisi merupakan satu
diantara sarannya. Pengkongkretan intuisi melalui kata-kata itu dilakukan
dengan prinsip seefesien dan seefektif mungkin. Senada dengan Hasanuddin WS,
Gani (2014: 14) menyatakan bahwa puisi merupakan ungkapan perasaan penulis yang
diterjemahkan dalam susunan kata-kata dalam bentuk bait-bait berirama dan
memiliki makna yang dalam.
Menurut
Suyitno (2009: 78) puisi bersifat pemusatan dan konsentrasif karena bentuknya
yang memuaskan pelukisannya pada hal-hal yang pokok saja. Bahasa puisi adalah
bahasa yang mengandung logika tidak lumrah dan mengandung makna yang melebihi
atau mengatasi bahasa biasa. Puisi adalah totalitas estetika bahasa yang
mengandung kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa diungkapkan dalam dan dengan
komunikasi bahasa.
b.
Unsur-unsur
puisi
Gani (2014: 16-22) mengemukakan
bahwa secara sederhana batang tubuh sebuah puisi terbentuk dari beberapa unsur.
Unsur tersebut meliputi: (1) Kata. Kata merupakan unsur utama dalam pembentukan
sebuah puisi. Melalui rangkaian kata, seorang penyair mengekspresikan pikiran,
perasaan, dan sikapnya. Melalui kata-kata juga seorang pembaca menyelami
pikiran, perasaan, dan sikap seorang penyair. (2) Larik. Larik adalah
baris-baris yang membangun sebuah puisi. Larik puisi bisa berupa satu kata,
frasa, klausa, dan kalimat. (3) Bait. Bait merupakan kumpulan larik yang
tersusun secara harmonis. Biasanya bait memiliki kesatuan pemikiran tersendiri.
(4) Bunyi. Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima/persajakan adalah
bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata di dalam larik dan bait.
Sedangkan irama/ritme adalah pergantian tinggi rendahnya , panjang pendeknya,
dan keras lembutnya ucapan bunyi. (5) Makna. Makna merupakan isi/kandungan
nilai yang sekaligus menjadi pesan yang hendak disampaikan oleh sebuag puisi.
Selain memiliki batang tubuh Gani
juga mengemukakan bahwa puisi memiliki struktur. Stuktur tersebut terbagi atas
struktur batin dan struktur fisik. Struktur batin puisi yaitu. (1)
Tema/ide/gagasan, merupakan pokok persoalan yang dikemukakan suatu puisi dan
menduduki tempat utama di dalam puisi.
(2) Rasa, merupakan apresiasi, sikap, atau emosional penyair terhadap
pokok permasalahan yang disampaikan di dalam puisi yang ditulisnya. (3) Nada,
berkaitan dengan sikap penyair terhadap persoalan yang dibicarakan di dalam
karyanya, mislanya menggurui, merayu, mengajak, menyindir, dan sebagainya. Dan,
(4) amanat/tujuan/maksud, merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh penyair,
misalnya: mengharapkan pembaca marah, benci, menyenangi sesuatu, dan berontak
pada sesuatu. Sedangkan struktur fisik sebuah puisi yaitu. (1) Tipografi (perwajahan),
merupakan penampakan sebuah puisi sebagai salah satu dari hasil seni kreatif.
(2) Imaji (daya bayang), merupakan kata/susunan kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman indrawi seseorang. (3) Kata kongkret, merupakan
kata-kata yang digunakan seorang penyair secara eksplisit dalam mengemukakan
persoalan yang disampaikan. (4) Bahasa figuratif, merupakan bahasa yang penuh
dengan kiasan. Dan, (5) verifikasi, berkaitan dengan persoalan rima, irama,
ritme, dan metrum. Rima dalam hal ini juga mencakup persoalan onomatope (tiruan
bunyi) dan bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir).
c.
Jenis-jenis
puisi
Kosasih (2012: 109-115)
mengemukakan bahwa berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang
hendak disampaikan, puisi terbagi ke tiga jenis, yaitu. (1) Puisi naratif,
mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Puisi jenis ini terbagi ke dalam
beberapa macam, yakni balada (berisi tentang orang-orang perkasa ataupun tokoh
pujaan) dan romansa (puisi cerita yang menggunakan bahasa romatik yang berisi
kisah percintaa, yang diselingi perkelahian, dan pertualang). (2) Puisi lirik,
terbagi ke dalam beberapa macam, misalnya elegi, ode, dan serenada. Elegi
merupakan puisi yang mengungkapkan perasaan duka, serenada merupakan puisi
percintaan yang dapat dinyanyikan, dan ode merupakan puisi yang berisi pujaan
terhadap seseorang, sesuatu hal, atau suatu keadaan.
2.1.2
Hakikat
Gaya Bahasa
a.
Pengertian
gaya bahasa
Date
[et all] (dalam Tarigan, 2009: 4) menjelaskan bahwa, gaya bahasa adalah bahasa
indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta
membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang
lebih umum. Dan dengan penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta
menimbulkan konotasi tertentu. Menurut Tarigan (2009: 4), “Gaya bahasa
merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan
menulis untuk menyakinkan atau memengaruhi penyimak atau pembaca”.
Keraf
(dalam Tarigan, 2009: 5) menyebutkan bahwa, gaya bahasa adalah cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memerlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis (pemakai bahasa). Lebih lanjut Keraf mengemukakan bahwa
sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu: kejujuran,
sopan-santun, dan menarik. Menurut Muhardi dan Hasnuddin WS (1992: 35)
pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang memergunakan
bahasa sebagai medium fiksi. Penggunaan bahasa tulis dengan segala kelebihan
dan kekurangannya harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pengarang.
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, gaya bahasa merupakan bahasa indah yang
diungkapkan seseorang (penyair, pengarang, ataupun pembicara) untuk
menyampaikan gagasan dan perasaannya. Tujuan penggunaan gaya bahasa adalah
untuk menyakinkan atau memengaruhi seseorang terhadap suatu hal atau topik yang
dibahas. Kepiawaian seorang pengarang atau pembicara dalam memergunakan gaya
bahasa dapat menjadi ciri pembeda antarpengarang atau pembicara.
b.
Jenis-jenis
gaya bahasa dalam karya sastra
Tarigan
(2009) mengklasifikasikan jenis-jenis gaya bahasa dalam karya sastra ke dalam
empat kelompok, yaitu:
(a) gaya bahasa perbandingan, terdiri
dari: perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori,
antitesis, pelonasme dan tautologi, perifrasis, antisipasi atau prolepsis, dan
koreksi atau epanortosis, (b) gaya bahasa pertentangan, terdiri dari:
hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralepsis, zeugma dan
silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, anti klimaks,
apostrof, anastrof atau inversi, apofasis atau preterisio, histeron proteron,
hipalase, sinisme, dan sarkasme, (c) gaya bahasa pertautan, terdiri dari:
metonimia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis,
paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, dan polisindeton, dan (d) gaya bahasa
perulangan, terdiri dari: aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus,
epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodilopsis, epanalepsis,
dan anadilopsis.
a)
Gaya bahasa perbandingan
(1) Perumpamaan/simile
Perumpamaan
atau simile adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang
sengaja kita anggap sama. Ramadansyah (2012: 161) mengemukakan bahwa simile
(perumpamaan sejajar) dengan membandingkan dua hal. Kata-kata yang umum
digunakan sebagai ciri penanda perumpamaan/simile adalah ibarat, seperti, bak,
sebagai, umpama, laksana, penaka, dan serupa. Contoh: ibarat mencengcang air,
bak cacing kepanasan, dan seperti air dengan minyak.
(2) Metafora
Metafora
adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun
rapi. Menurut Poerwadarminta, (dalam Tarigan, 2009: 15), metafora adalah
pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang
berdasarkan persamaan atau perbandingan. Ramadansyah (2012: 161) menyatakan
bahwa metafora merupakan perbandingan suatu benda dengan benda lain secara
langsung kerena memiliki sifat yang sama. Contoh: Aku terus memburu untung, Ali
mata keranjang, dan ketawa merupakan vitamin menyehatkan tubuh.
(3) Personifikasi
Personifikasi
atau penginsanan adalah jenis gaya bahasa yang meletakkan sifat-sifat insani
kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Menurut Ramadansyah (2012: 161) personifikasi
menggambarkan sifat benda yang tidak bernyawa memiliki sifat seolah-olah sama
dengan manusia. Contoh: Penelitian menuntut kecermatan, hujan memandikan
tanaman, dan dinding mendengar cerita kita.
(4) Depersonifikasi
Depersonifikasi
atau pembendaan adalah gaya bahasa yang membendakan manusia atau insan. Kata-kata
yang umum digunakan sebagai ciri penanda depersonifikasi yaitu kalau, jika,
jikalau, bila (mana), sekiranya, misalkan, umpama, andai (kata), dan
seandainya. Contoh: kalau dikau menjadi samudra, maka daku menjadi bahtera.
(5) Alegori
Alegori
adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang. Selain itu, alegori juga
merupkan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat, atau wadah
objek-objek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan. Menurut Ramadansyah
(2012: 162), alegori merupakan perbandingan yang bertaut hingga membentuk
kesatuan yang utuh. Contoh: Kancil dan buaya, cerita Adam dan Hawa, dan cerita
Yusuf.
(6) Antitesis
Menurut
Ducrot dan Todorov (dalam Tarigan, 2009: 26) antitesis adalah sejenis gaya
bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu
kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Contoh: Dia
bergembira ria atas kegagalanku dalam ujian itu.
(7) Pleonasme
dan Tautologi
Poerwadarminta
(dalam Tarigan, 2009: 28) mengemukakan bahwa,
pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan) yang
sebenarnya tidak perlu (seperti menurut sepanjang adat, saling
tolong-menolong). Tarigan (2009: 29) mengemukakan bahwa, pleonasme dan
tautologi ialah acuan yang menggunakan suatu gagasan atau pikiran. Contoh Saya
telah mencatat kejadian itu dengan tangan saya sendiri.
(8) Perifrasis
Keraf (dalam
Tarigan, 2009: 31) mengemukakan bhawa, perifrasis adalah sejenis gaya bahasa
yang mirip dengan pleonasme. Pada gaya bahasa perifrasis, kata-kata yang
berlebihan itu pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja. Contoh:
Putri kami yang sulung telah melayarkan bahtera ke pulau Idamannya bersama
tunangannya (nikah atau kawin).
(9) Antisipasi
atau Prolepsis
Shadily
(dalam Tarigan, 2009: 33) mengemukakan bahwa antisipasi berarti ‘mendahului’
atau ‘penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau
akan terjadi’. Contoh: Kami sangat gembira, minggu depan kami memperoleh hadiah
dari bapak Bupati.
(10) Koreksi atau
Epanortosis
Koreksi atau
epanortosis merupakan gaya bahasa yang berwujud mula-mula ingin menegaskan
sesuatu, tetapi kemudian memeriksa dan memperbaiki mana-mana yang salah.
Contoh: Kepala sekolah baru pulang dari Sulawesi Utara, maaf bukan, Sumatera
Utara.
b)
Gaya bahasa pertentangan
(1) Hiperbola
Hiperbola
adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan berlebih-lebihan jumlahnya,
ukurannya, atau sifatnya dengan maksud memberikan penekanan pada suatu
pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkat kesan dan pengaruhnya.
Ramadansyah (2012: 162) juga mengemukakan bahwa hiperbola merupakan gaya bahasa
yang berisi pernyataan berlebih-lebihan/membesar-besarkan. Contoh: Tabungannya
berjuta-juta, emasnya berkilo-kilo, sawahnya berhektar-hektar (untuk pengganti
dia orang kaya).
(2) Litotes
Menurut
Moeliono (dalam Tarigan, 2009: 58) litotes adalah gaya bahasa yang di dalam
pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau
bentuk yang bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan
pernyataan yang sebenarnya. Senada dengan Moeliono, Ramadansyah (2012: 162)
juga mengemukakan bahwa, litotes merupakan gaya bahasa yang
menguraikan/melunakkan arti, yang berlawanan dari kenyataan yang sebenarnya
untuk merendahkan diri. Contoh: Indonesia bukanlah negara kecil dan terbelakang
yang dapat diabaikan begitu saja dalam percaturan politik ASEAN.
(3) Ironi
Moeliono
(dalam Tarigan, 2009: 61) mengemukakan bahwa ironi adalah gaya bahasa yang
menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Menurut
Ramadansyah (2012: 162) ironi menggunakan kata yang berarti sebaliknya dengan
maksud menyindir. Contoh: Aduh, bersihnya kamar ini, puntung rokok dan sobekan
kertas bertebaran di lantai.
(4) Oksimoron
Ducrot dan
Tororov (dalam Tarigan, 2009: 63) mengemukan bahwa, oksimoron adalah gaya
bahasa yang mengandung penegasan atau pendirian suatu hubungan sintaksis─baik
koordinasi maupun determinasi─antara dua antonim. Menurut Keraf (dalam Tarigan,
2009: 63) oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan
menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama. Ramadansyah (2012:
263) mengemukakan bahwa oksimoron merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata
majemuk setara atau bertingkat. Contoh: Olahraga mendaki gunung memang menarik
hati walaupun sangat berbahaya.
(5) Paronomasia
Menurut
Ducrot dan Tororov (dalam Tarigan, 2009: 63) paronomasia adalah gaya bahasa
yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tetapi bermakna lain atau
kata-kata yang sama bunyinya tetapi artinya berbeda. Contoh: Mari kita kubik
beramai-ramai kacang tanah yang setengah kubik banyaknya itu.
(6) Paralipsis
Ducrot dan
Tororov (dalam Tarigan, 2009: 63) mengemukan bahwa, paralipsis adalah gaya
bahasa yang merupakan suatu formula yang digunakan sebagai sarana untuk
menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat
itu sendiri. Contoh: Tidak ada orang yang menyenangi kamu (maaf) yang saya
maksud membenci kamu di desa ini.
(7) Zeugma dan
Silepsis
Zeugma dan
silepsis adalah gaya bahasa yang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan
cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain yang pada
hakikatnya hanya sebuah saja yang mempunyai hubungan dengan kata yang pertama.
Silepsis merupakan penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna
dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis. Contoh: Ia sudah
kehilangan topi dan semangatnya. Sedangkan zeugma adalah silepsis dengan
menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstuksi sintaksis
yang kedua sehingga menjadi kalimat yang rancu. Contoh: Kami sudah mendengar
berita itu dari radio dan surat kabar.
(8) Satire
Menurut
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 70) satire adalah ungkapan yang menertawakan atau
menolak sesuatu. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan
utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Contoh:
puisi ‘Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya’ karya Taufik Ismail.
(9) Inuendo
Keraf (dalam
Tarigan, 2009: 74) mengemukakan bahwa inuendo adalah gaya bahasa yang berupa
sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasa ini
menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan tampaknya tidak
menyakitkan hati kalau ditinjau sekitar. Contoh: Abangku sedikit gemuk karena
terlalu kebanyakan makan daging berlemak.
(10) Antifrasis
Antifrasis
adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna
kebalikannya. Contoh: Mari kita sambut kedatangan sang Raja (maksudnya si
jongos).
(11) Paradoks
Paradoks
adalah suatu pernyataan yang bagaimana diartikan selalu berakhir dengan
pertentangan. Keraf (dalam Tarigan, 2009: 77) mengemukakan bahwa paradoks
adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta
yang ada. Contoh: Aku kesepian di tengah keramaian.
(12) Klimaks
Shadily
(dalam Tarigan, 2009: 79) mengemukakan bahwa klimaks adalah sejenis gaya bahasa
yang berupa susunan uangkapan yang semakin lama semakin mengandung penekanan.
Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 79) klimaks adalah gaya bahasa yang
mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat
kepentingannya gagasan-gagasan sebelumnya. Contoh: Setiap guru yang berdiri di
depan kelas harus mengetahui, memahami, serta menguasai bahan yang
diajarkannya.
(13) Anti klimaks
Anti klimaks
merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang
terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Contoh: Penataran P4
diberikan kepada para dosen Perguruan Tinggi, para guru SMA, SMP, SD, dan TK.
(14) Apostrof
Apostrof
merupakan gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang
tidak hadir. Cara ini lazimnya dipakai
oleh orator klasik atau para dukun tradisional. Contoh: Wahai para dewa-dewa
yang berada di nirwana, segeralah datang dan lepaskan kami dari cengkraman yang
durjana.
(15) Anastrof
atau Invers
Menurut
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 85), anastrof atau inversi adalah gaya bahasa
retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
Ducrot and Todorov (dalam Tarigan, 2009: 85) mengemukakan bahwa, inversi adalah
gaya bahasa permutasian atau perubahan urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis.
Contoh: Merantaulah ia ke negeri seberang tanpa meninggalkan apa-apa.
(16) Apofasis
atau Preterio
Apofasis
atau preterio merupakan gaya bahasa yang digunakan oleh penulis, pengarang,
atau pembicara untuk menegaskan sesuatu tetapi tampaknya menyangkalnya. Contoh:
Saya tidak ingin menyingkapkan dalam rapat ini bahwa putrimu itu telah berbadan
dua.
(17) Histeron Proteron
Histeron
proteron merupakan gaya bahasa yang membalikkan sesuatu yang logis atau
membalikkan sesuatu yang wajar. Menurut Keraf (dalan Tarigan, 2009: 88),
histeron proteron adalah gaya bahasa yang kebalikan dari sesuatu yang logis
atau kebalikan dari sesuatu yang wajar. Contoh: Pidato yang berapi-api itu
keluar dari mulut orang yang berbicara terbata-bata itu.
(18) Hipalase
Hipalase merupakan
gaya bahasa yang menggunakan sesuatu kata tertentu untuk menerangkan sebuah
kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain. Menurut Keraf (dalan
Tarigan, 2009: 89), hipalase adalah gaya bahasa kebalikan dari suatu hubungan
alamiah antara dua komponen. Contoh: Ia duduk pada sebuah bangku yang gelisah
(yang gelisah: ia, bukan bangku).
(19) Sinisme
Sinisme
adalah gaya bahasa berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung
ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Menurut Ramadansyah (2012: 162),
sinisme adalah sindiran yang lebih kasar dari ironi. Contoh: Memang tidak dapat
diragukan lagi bahwa Andalah yang paling kaya di dunia yang mampu membeli
kelima benua di bumi ini.
(20) Sarkasme
Poerwadarminta
(dalam Tarigan, 2009: 92) mengemukakan bahwa, sarkasme adalah gaya bahasa yang
mengandung ‘olok-olok atau sindiran pedas dan menyakitkan hati’. Menurut
Ramadansyah (2012: 162), sarkasme adalah sindiran yang paling kasar, langsung
menusuk perasaan, dan digunakan oleh orang yang sedang marah. Contoh: Otakmu
otak udang.
c)
Gaya bahasa pertautan
(1) Metonimia
Menurut Dale
(dalam Tarigan, 2009: 121), metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan nama
suatu barang bagi sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Moeliono (dalam
Tarigan, 2009: 121) mengemukakan bahwa, metonimia adalah gaya bahasa yang
memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang, atau
hal lain sebagai penggantinya. Contoh: Terkadang pena justru lebih tajam
daripada pedang.
(2) Sinekdoke
Moeliono
(dalam Tarigan, 2009: 123) mengemukakan bahwa, sinekdoke adalah gaya bahasa
yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan atau
sebaliknya. Menurut Ramadansyah sinekdoke dibagi atas dua macam, yaitu totem
proparte dan pars pro tato. Totem proparte adalah gaya bahasa yang menyebutkan
keseluruhan untuk sebagian, contoh: Padang sibuk menyiapkan lomba lagu minang.
Sedangkan, pars pro tato adalah gaya bahasa yang menyebutkan sebagian untuk
keseluruhan, contoh: Sudah dua hari Farid tidak tamppak batang hidungnya.
(3) Alusi
Alusi atau
kilatan adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu
peristiwa atau tokoh berdasarkan anggapan adanya pengetahuan bersama yang
dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan pada pembaca untuk
menangkap pengacuan itu. Contoh: Saya mengeri membayangkan kembali peristiwa
Westerling.
(4) Eufemisme
Moeliono
(dalam Tarigan, 2009: 126) mengemukakan bahwa, eufemisme adalah ungkapan yang
lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakn kasar (dianggap merugikan)
atau yang dianggap tidak menyenangkan. Contoh: Ayahnya meninggal tadi pagi
(meninggal sebagai pengganti ‘mati’)
(5) Eponim
Eponim
adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan
sifat itu. Contoh: Tahun ini terasa benar dawi sri merestui para petani desa
ini.
(6) Epitet
Epitet
adalah gaya bahasa yang mengandung acuan untuk menyatakan suatu sifat atau ciri
yang khas dari seseorang atau suatu hal. Contoh: Lonceng pagi bersahut-sahutan
di desa terpencil ini menyongsong mentari bersinar menerangi alam (lonceng pagi
= ayam jantan).
(7) Antonomasia
Antonomasi
merupakan gaya bahasa yang menggunakan nama gelar resmi atau jabatan sebagai
pengganti nama diri. Contoh: Gubernur Sumatera Utara akan meresmikan pembukaan
Seminar Adat Karo di Kabanjahe bulan depan.
(8) Erotesis
Erotesis
adalah gaya bahasa berupa pernyataan yang digunakan dalam tulisan atau pidato
yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar
dan sama sekali tidak menuntut suatu jawaban. Contoh: Soal ujian tidak sesuai
dengan bahan pelajaran. Herankah kita jika nilai pelajaran Bahasa Indonesia
pada Ebtanas tahun 1985 ini sangat merosot?
(9) Paralelisme
Keraf (dalam
Tarigan, 2009: 131) mengungkapkan bahwa, paralelisme adalah gaya bahasa yang
berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang
menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Contoh: Baik kaum
pria maupun kaum wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama secara hukum.
(10) Elipsis
Ducrot and
Todorov (dalam Tarigan, 2009: 133) elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya
dilaksanakan penanggalan atau penghilangan kata atau kata-kata yang memenuhi
bentuk kalimat berdasarkan tata bahasa. Contoh: Mereka ke Jakarta minggu yang
lalu (penghilangan predikat: pergi, berangkat)
(11) Gradasi
Gradasi
adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan paling sedikit
tiga kata atau istilah yang secara sintaksis bersamaan yang mempunyai suatu
atau beberapa ciri-ciri semantik secara umum dan yang di antaranya paling
sedikit suatu ciri diulang-ulang dengan perubahan-perubahan yang bersifat
kuantitatif. Contoh: Kami berjuang dengan tekad; tekad harus maju; maju dalam
kehidupan; kehidupan yang layak dan baik.
(12) Asindeton
Asindenton
adalah gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata,
frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.
Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan saja oleh tanda koma. Contoh: Tujuan
instruksional, materi pengajaran, kualitas guru, metode yang serasi, media
pengajaran, pengelolaan kelas, evaluasi yang cocok, turut menetukan
keberhasilan suatu proses belajar-mengajar.
(13) Polisindeton
Polisindenton
adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindeton. Dalam polisindeton,
beberapa kata, frasa, atau kluasa yang berurutan dihubungkan satu sama lain
dengan kata-kata sambung. Contoh: Istri saya menanam nangka dan jambu dan
cengkeh dan pepaya di pekarangan rumah kami.
d)
Gaya bahasa perulangan
(1) Aliterasi
Aliterasi
adalah sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan purwakanti atau pemakian kata-kata
yang permulaannya sama bunyinya. Menurut Keraf (dalam Tarigan, 2009: 175),
aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama.
Contoh: Dara damba daku, kalau ‘kanda kala kacau.
(2)
Asonansi
Asonansi
adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vokal yang sama. Biasanya
dipakai dalam karya puisi ataupun dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan
atau menyelamatkan keindahan.
Contoh:
Kura-kura dalam perahu
sudah gaharu
cendana pula
Pura-pura
tidak tahu
sudah tahu
bertanya pula
(3) Antanaklasis
Ducrot and
Todorov (dalam Tarigan, 2009: 179), antanaklasis adalah gaya bahasa yang
mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Contoh: Karena
buah penanya itu dia pun manjadi buah bibir masyarakat.
(4) Kiasmus
Ducrot and
Todorov (dalam Tarigan, 2009: 180) mengungkapkan bahwa, kiasmus adalah gaya
bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus pula merupakan inversi hubungan
antara dua kata dalam satu kalimat. Contoh: Sudah lazim dalam hidup ini bahwa
orang pintar mengaku bodoh, tetapi orang bodoh merasa dirinya pintar.
(5) Epizeukis
Epizuekis
adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung, yaitu kata yang
ditekankan atau yang dipentingankan diulang beberapa kali berturut-turut.
Contoh: Ingat, kamu harus bertobat, bertobat, sekali lagi bertobat agar
dosa-dosamu diampumi oleh Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Pengasih.
(6) Tautotes
Karef (dalam
Tarigan, 2009: 183) mengemukakan bahwa, tautotes adalah gaya bahasa perulangan
atau repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Contoh:
Aku menuduh kamu, kamu menuduh aku, aku dan kamu saling menuduh, kamu dan aku
berseteru.
(7) Anafora
Anafora
adalah gaya bahasa repetisi yang berulang perulangan kata pertama pada setiap
baris atau setiap kalimat.
Contoh:
Lupakah
engkau bahwa merekalah yang membesarkan dan mengasuhmu.
Lupakah
engkau bahwa keluarga itulah yang menyekolahkanmu sampai ke perguruan tinggi?
Lupakan
engkau bahwa engkau mereka pula yang mengawinkanmu dengan istrimu?
Lupakah
engkau akan segala budi baik mereka itu kepadamu?
(8) Epistrofa
Epistrofa
adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frasa pada akhir
baris atau kalimat berurutan.
Contoh:
Bahasa resmi
adalah bahasa Indonesia
Bahasa
adalah bahasa Indonesia
Bahasa
nasional adalah bahasa Indonesia
Bahasa
kebanggaan adalah bahasa Indonesia
(9) Simploke
Menurut
Keraf (dalam Tarigan, 2009: 187), simploke adalah gaya bahasa repetisi yang
berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat
berturut-turut. Contoh:
Ibu bilang
saya pemalas. Saya bilang biar saja.
Ibu bilang
saya lamban. Saya bilang biar saja.
Ibu bilang
saya lengah. Saya bilang biar saja.
Ibu bilang
saya manja. Saya bilang biar saja.
(10) Mesodilopsis
Mesodilopsis
adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa di
tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh:
Anak
merindukan orang tua
Orang tua
merindukan anak
Aku
merindukan pacarku
Dia
merindukan ketenteraman batin
Kamu
merindukan keberhasilan studimu
Kumbang
merindukan kembang
Pungguk
merindukan bulan
Ombak
merindukan pantai
Pendeknya
semua merindukan sesuatu di dalam hidup ini
(11) Epanalepsis
Epanalepsis
adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama dari baris,
klausa, atau kalimat menjadi terakhir. Contoh: Bawalah aku ke mana engakau
pergi, aku menyerahkan diriku padamu, bawalah.
(12) Anadiplosis
Anadiplosis adalah gaya bahasa repetisi di mana kata
atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa
pertama klausa atau kalimat terakhir. Contoh:
dalam mata ada kaca
dalam kaca ada adinda
dalam adinda ada asa
dalam asa
ada cinta
2.2 Analisis Gaya Bahasa Puisi Gadis Kita Karya Afrizal
Malna
GADIS KITA
O gadisku ke mana
gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum
gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar
gadisku. Ja- ngan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti
engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun. Jangan tempel tanda-tanda jalan
pada lalulintas dadamu gadisku. Nanti polisi marah. Nanti polisi marah. Nanti
kucing menggigit kuning pita rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik
warna-warni gadisku. Tubuhmu madu, tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya
Tuhan, nanti kita semua dibawa hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita
semua cinta padamu. Jangan terbang terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku,
ke renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi sepatumu. Nanti ibu kita mati. Nanti
ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
1985
Gaya bahasa yang digunakan dalam
puisi “Gadis Kita” karya Afrizal Malna, adalah.
a. Gaya bahasa
perulangan
1)
Anafora
Anafora merupakan gaya bahasa perulangan kata pertama
pada setiap garis. Gaya bahasa anafora yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·
Kau
telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau
pergi ke kota parfum gadisku.
·
Nanti
engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa
sabun.
·
Nanti
polisi marah. Nanti polisi marah.
·
Nanti
kita semua tidak punya Tuhan, nanti
kita semua dibawa hantu gadisku.
·
Kita
semua cinta padamu. Kita semua cinta
padamu.
·
Nanti
ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
Pada puisi digunakan
gaya bahasa anafora dengan mengulang kata-kata, yaitu: kau, nanti, dan kita.
2)
Epifora (epistrofa/epistrofora)
Epifora/epistrofa/epistrofora merupakan gaya bahasa
perulangan kata pada akhir baris atau kalimat berurutan. Gaya bahasa epistrofa
yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·
O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Ja- ngan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku.
·
Nanti polisi marah. Nanti polisi marah.
·
Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu.
·
Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
Nanti ibu kita mati.
Pada puisi digunakan
gaya bahasa epifora dengan mengulang kata-kata, yaitu: gadisku, marah, padamu,
dan mati.
3)
Aliterasi
Aliterasi merupakan
gaya bahasa perulangan yang memanfaatkan kata-kata yang permulaan konsonan
berbunyi sama. Gaya bahasa aliterasi yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·
Jangan tempel
tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku.
·
Jangan terbang
terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke
renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi
sepatumu.
Pada puisi ditemukan
gaya bahasa aliterasi dengan menghadirkan bunyi konsonan ‘t’ dan ‘k’.
4)
Asonansi
Asonansi merupakan
gaya bahasa perulangan bunyi vokal yang sama. Gaya bahasa asonansi yang
ditemukan pada puisi, yaitu.
·
Aku
silau tubuhmu kemilau neon gadisku.
Pada puisi ditemukan
gaya bahasa asonansi dengan menghadirkan bunyi vokal ‘u’.
b. Gaya bahasa
perbandingan
1)
Metafora
Metafora merupakan gaya bahasa yang membandingkan
benda tertentu dengan benda lain yang mempunyai sifat sama atau hampir sama.
Gaya bahasa metafora yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·
Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku.
Kalimat tersebut membandingkan tubuh
seseorang dengan sesuatu yang bernama neon. Jika neon yang dimaksud penyair
adalah merk sebuah lampu, maka dapat diartikan bahwa tubuh seseorang tersebut
bersinar terang.
·
Tubuhmu keramaian pasar gadisku.
Kalimat tersebut membandingkan tubuh
seseorang dengan keramaian pasar. Keramaian pasar tersebut dapat diartikan
sebaga keadaan yang melukiskan bahwa terdapat banyak pada tubuh seseorang
tersebut, misalnya terdapat banyak asesoria yang melekat pada tubuh orang yang
dilukiskan itu, seperti: jam tangan, cincin, dan kalung.
·
Tubuhmu madu, tubuhmu candu.
Kalimat tersebut membandingkan tubuh
seseorang dengan madu yang berarti manis dan candu yang berarti dapat menimbulkan
ketagihan (kecanduan).
2)
Personifikasi
Personifikasi merupakan gaya bahasa yang membandingkan
benda mati tidak bergerak seolah-olah bernyawa dan dapat bersifat seperti
manusia. Gaya bahasa personifikasi yang ditemukan pada puisi, yaitu.
·
Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau
dibawa sabun.
Kalimat di atas menyatakan bahwa
laut dan sabun memiliki sifat seperti manusia yaitu bisa membawa seseorang
kepadanya.
Data yang
ditemukan
No
|
Data
|
Gaya
Bahasa
|
Keterangan
|
1.
|
O
gadisku ke mana gadisku. Kau telah
pergi ke kota lipstik gadisku. Kau
pergi ke kota parfum gadisku. Aku
silau tubuhmu kemilau neon gadisku.
Tubuhmu keramaian pasar gadisku.
Ja- ngan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku.
|
Epifora
|
Ditandai
dengan kata gadisku.
|
2.
|
Kau telah pergi
ke kota lipstik gadisku. Kau pergi
ke kota parfum gadisku.
|
Anafora
|
Ditandai
dengan penggunaan kata ‘kau’
|
3.
|
Aku
silau tubuhmu kemilau neon gadisku.
|
Metafora
|
Neon=terang/
bercahaya.
|
4.
|
Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku.
|
Asonansi
|
Ditandai dengan
penggunaan vokal ‘u’
|
5.
|
Tubuhmu keramaian pasar gadisku.
|
Metafora
|
Keramian
pasar= banyak hal yang ada.
|
6.
|
Nanti engkau dibawa
laut, nanti engkau dibawa sabun.
|
Anafora
|
Ditandai dengan penggunaan kata ‘nanti’
|
7.
|
Nanti
engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun.
|
Personifikasi
|
Laut & sabun= membawa
|
8.
|
Jangan tempel tanda-tanda jalan pada
lalulintas dadamu gadisku.
|
Aliterasi
|
Ditandai
dengan penggunaan konsonan ‘t’
|
9.
|
Nanti polisi marah.
Nanti polisi marah.
|
Anafora
|
Ditandai
dengan penggunaan kata ‘nanti’
|
10.
|
Nanti polisi marah.
Nanti polisi marah.
|
Epifora
|
Ditandai
dengan pegunaan kata ‘marah’
|
11.
|
Tubuhmu
madu, tubuhmu candu.
|
Metafora
|
Tubuh=
madu & candu
|
12.
|
Nanti kita semua
tidak punya Tuhan, nanti kita semua
dibawa hantu gadisku.
|
Anafora
|
Ditandai
dengan penggunaan kata ‘nanti’.
|
13.
|
Kita semua cinta
padamu. Kita semua cinta padamu.
|
Anafora
|
Ditandai
dengan penggunaan kata ‘kita’.
|
14.
|
Kita
semua cinta padamu. Kita semua
cinta padamu.
|
Epifora
|
Ditandai
dengan penggunaan kata ‘padamu’.
|
15.
|
Jangan terbang terlalu jauh ke
pita-pita rambutmu gadisku, ke
renda-renda bajumu, ke nyaring
bunyi sepatumu.
|
Aliterasi
|
Ditandai
dengan ‘ter’ & ‘ke’
|
16.
|
Nanti ibu kita mati. Nanti
ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
|
Anafora
|
Ditandai
dengan penggunaan kata ‘nanti’.
|
17.
|
Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
|
Epifora
|
Ditandai
dengan penggunaan kata ‘mati’.
|
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab II dapat
disimpulkan bahwa gaya bahasa yang ditemukan pada puisi ‘Gadis Kita’ karya
Afrizal Malna adalah tujuh belas buah gaya bahasa yang terbagi atas gaya bahasa
perulangan dan gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa perulangan terdapat tiga
belas buah, yang terdiri atas enam buah gaya bahasa anafora, empat buah gaya
bahasa epifora, satu buah gaya bahasa asonansi, dan tiga buah gaya bahasa
aliterasi. Gaya bahasa perbandingan terdapat empat buah, yang terdiri atas tiga
buah gaya bahasa metafora dan satu buah gaya bahasa personifikasi. Dengan
demikian, puisi ‘Gadis Kita’ karya Afrizal Malna didominasi dengan penggunaan
gaya bahasa perulangan, dan kata yang sangat sering diulang adalah kata
‘gadisku’ dan ‘nanti’.
3.2 Saran
Adapun saran penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Seorang
peneliti sastra harus membekali dirinya dengan pemahaman yang baik terhadap
dasar-dasar sastra agar kajian sastra yang dihasilkan lebih bermutu.
2. Hendaknya
para pemerhati sastra dan masyarkat penikmat sastra dapat meluangkan waktunya
untuk membaca puisi sebagai wujud apresiasi terhadap karya sastra.
DAFTAR
PUSTAKA
Gani,
Erizal. 2014. Kiat Pembacaan Puisi: Teori
dan Terapan. Bandung: Pustaka Reka Cipta.
Hasanuddin
WS. 2012. Membaca dan Menilai Sajak.
Bandung: Angkasa.
Kosasih,
E. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan
Bersastra. Bandung: Yrama Widya.
Ramadansyah.
2012. Paham dan Terampil Berbahasa dan
Bersastra Indonesia. Bandung: Dian Aksara Press.
Sihaloholistick. 2014.
“Puisi-Puisi Afrizal Malna”. (Online) http:// puisi-puisi afrizal malna _ lain-lain - jendela
sastra.html. Diakses 09 Desember 2015.
Suyitno.
2009. Apresiasi Puisi dan Prosa.
Surakarta: LPP UNS & UNS Press.
Tarigan,
Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya
Bahasa. Bandung: Angkasa.